Pustaka Media Syariah

Pustaka Media Syariah
Emytos
PERINGATAN : Beberapa fitur mungkin tidak akan berfungsi karena template masih dalam perbaikan.

MAKALAH FIQH JINAYAH : JARIMAH HIRABAH


Gambar : Desained by +Ladlul Muksinin 



BAB I 

PENDAHULUAN 


A. Latar Belakang

Pada dasarnya, setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Fitrah manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam kehidupannya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya ingin cepat kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan dan lain-lainnya.

Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi hukum. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud memaparkan berbagai hal, khususnya mengenai perampokan dan jarimah-nya sebagai bahan perbandingan hukum dengan hukum lainnya.
Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menyimpulkan beberapa rumusan masalah di antaranya, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan Hirabah ?
2. Apa saja kualifikasi yang dapat dijatuhi Hadd ?
3. Apa saja ketentuan hukuman ?
4. Apa saja yang dapat menghapuskan hukuman Hadd ?



Lihat juga MAKALAH PES : LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Bagi yang ingin memiliki file asli makalah ini, silahkan klik download di bawah dan ijin di kolom komentar. Budayakan ijin agar bermanfaat.




BAB II 

PEMBAHASAN 



A. Pengertian Hirabah

Secara etimologis, kata hirabah merupakan bentuk masdar yang berasal dari kata kerja " حارب – يحارب – محاربة " yang berarti “ قاتله ”yakni memerangi karena di satu sisi, kelompok ini memerangi kelompok muslim lain, dan di sisi lainnya, memerangi ajaran Islam yang datang untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman bagi seluruh anggota masyarakat dengan cara menjamin hak-hak mereka. Kata hirabah diambil dari akar kata حرب (perang), atau dalam kalimat " فلانا حرب" yang bermakna “ماله سلب ” yaitu merampas hartanya

Hirabah juga disebut dengan qat’u at-tariq ataupun sirqah kubra, hal tersebut bukanlah arti hakikat melainkan dalam arti majas. Secara hakikat pencurian (sirqah) adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan qat’u at-tariq adalah pengambilan harta secara terang-terangan. Akan tetapi, dalam qat’u at-tariq terdapat bentuk sembunyi-sembunyi, yaitu dalam artian pelaku bersembunyi dari penguasa atau petugas keamanan. Oleh karena itu, sirqah tidak bisa dikatakan sebagai qat’u at-tariq kecuali bila diperjelas dengan ungkapan sirqah al-kubra bukan sirqah saja. Jika dinamakan pencurian saja, ungkapan tersebut tidak akan dipahami sebagai qat’u at-tariq dan adanya beberapa ketentuan ini adalah tanda-tanda majas.[1]

Hirabah adalah delik kejahatan terhadap harta benda atau nyawa, atau meneror dan menebar ancaman dengan cara yang sulit meski telah meminta bantuan pemerintahan dan lain sebagainya. Pengertian hirabah hampir sama dengan pengertian pembegalan (qath’u ath-tahriq), yaitu tindak merampas harta, membunuh, atau menakut-nakuti dengan paksaan dan mengandalkan kekuatan.[2]

Hirabah adalah keluarnya gerombolan bersenjata di daerah islam untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban, dan undang-undang. Baik gerombolan tersebut dari orang islam sendiri maupun kafir dzimmi, atau kafir harbi.[3]

Penodong atau perampok adalah merampas atau mengambil harta milik orang lain dengan cara memaksa. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap tindak pidana yang dilakukan diluar rumah, jika perbuatan yang sama dilakukan oleh pelaku di dalam rumah atau gedung disebut dengan perampok.[4]

Orang yang melakukan hirabah (muharib) ialah setiap orang yang darahnya terpelihara sebelum melakukan hirabah, yaitu orang Muslim dan orang dzimmi.[5] Pembegal (qaththa’u ath-tahriq) sendiri adalah setiap orang muslim, murtad, atau kafir dzimmi, mempunyai tanggung jawab hukum, mukallaf (baligh serta berakal), inisiatif sendiri, mempunyai syaukah yakni kekuatan dan kekuasaan yang mampu mengalahkan orang lain dengan hal tersebut.[6]

Fuqaha berpendapat bahwa hirabah adalah mengangkat senjata dan mengganggu lalu lintas di luar kota. Kemudian ada perselisihan tentang hirabah yang di lakukan di dalam kota. [7]

1. Imam Malik berpendapat bahwa melakukan hirabah baik di dalam dan di luar kota adalah sama.

2. Menurut Imam Syafi’i, dalam hal ini beliau tidak mempersyaratkan adanya kekuatan (syaukah) untuk mengalahkan, meski tidak mempersyaratkan bilangan. Beliau juga berpendapat bahwa apabila segi keamanan suatu pemerintah lemah, dan terdapat pula faktor untuk mengalahkan di dalam kota, maka kondisi seperti itu sudah dapat dinamakan hirabah. Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak demikian disebut ikhtilas.

3. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hirabah tidak terdapat di dalam kota.




B. Kualifikasi Penjatuhan Hadd

Unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:

1. Unsur formal yaitu adanya nas (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.

2. Unsur material yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).

3. Unsur moral yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. [8]

Mengenai unsur khusus jarimah hirabah para fuqaha’ berbeda pendapat dengan yang lainnya. Menurut Imam Malik, perampokan dapat dilakukan baik di kota maupun di luar kota, tetapi Imam Abu Hanifah berkata bahwa bukan perampokan kalau dilakukan di dalam kota, karena ada pihak berwenang yang akan melindungi warganya. Fuqaha’ yang lain mengatakan sama saja halnya apakah ia dilakukan di dalam atau di luar kota, asalkan ia menggunakan kekerasan. Sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa bila pihak yang berwenang lemah, tak dapat menolong atau melindungi warganya, maka perampokan bersenjata mungkin saja terjadi di dalam kota.

Jarimah hirabah dapat terjadi dalam kasus-kasus:

1. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan intimidasi, namun tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh;

2. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kemudian mengambil harta tersebut tetapi tidak membunuh;

3. Seseorang pergi atau berangkat dengan niat merampok, kemudian membunuh tapi tidak mengambil harta korban;

4. Seseorang pergi untuk merampok kemudian mengambil harta dan membunuh pemiliknya.[9]

Maka setiap orang, baik laki-laki atau perempuan, sadar atau mabuk, dengan atau tanpa senjata tajam, dengan kekuatan sendiri yang meneror hingga mengancam keselamatan nyawa atau harta benda pengguna jalan di perkotaan atau di padang sahara, dia dianggap pembegal atau hirabah (kebanditan).

Hadd kebanditan (hirabah) tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku yang masih kanak-kanak, orang gila, orang yang dipaksa atau orang lemah yang tidak mempunyai kekuatan. Hanya saja dia harus ditakzir.[10]

Terkait dengan apakah perbuatan hirabah dapat ditetapkan, maka hal itu adalah dengan pengakuan (iqrar) dan kesaksian (bayyinah)[11]. [12]

1. Imam Malik menerima persaksian orang yang dirampas (hartanya) atas orang yang merampas.

2. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kesaksian kawan serombongan diperbolehkan, jika mereka tidak mendakwakan harta yang mereka ambil, baik untuk dirinya sendiri maupun kawan-kawannya.



C. Hukuman

Hukum melakukannya adalah haram dan dosa besar. Dan hukuman bagi pelaku hirabah ini ditegaskan atau di dasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 33-34, yaitu:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (33) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (34) 

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,(33) kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (34).”[13]

Imam Malik memahami huruf aw (أو) dari ayat di atas tersebut dalam arti pilihan (تخيير), yakni empat macam hukuman yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 33 tersebut, diserahkan kepada yang berwenang (hakim) untuk memilih mana yang paling sesuai dan adil dengan kejahatan pelaku.[14]

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat salah satu sebab (faktor) yang melatarbelakangi perbedaan pendapat antara jumhur fuqaha’ dan Imam Malik yaitu sebab yang berkaitan dengan kebahasaan, terutama berkaitan dengan nash yang lafaznya berbentuk musytarak, ‘am, mujmal, dan sebagainya, yaitu lafaz-lafaz yang memiliki makna beragam, terlalu umum, dan terlalu global, sehingga para fuqaha’ atau mufassir mengartikan lafaz musytarak memberikan batasan yang ‘am dan mujmal secara beragam pula, tergantung pada dasar yang digunakan.[15]

Untuk hukuman yang dijatuhkan atas muharib, para fuqaha telah sependapat bahwa hukuman tersebut berkaitan dengan hak Allah dan hak adami (manusia). Bahwa hak Allah tersebut adalah hukuman mati, hukuman salib, dipotong tangan dan kakinya dengan bertimbal balik, dan hukuman pengasingan, sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam ayat di atas.

Dalam penjatuhan hukuman-hukuman tersebut, para fuqaha berselisih pendapat, apakah didasarkan atas pilihan atau diurutkan berdasarkan besar kecilnya perbuatan.

1. Imam Malik berpendapat, apabila ia membunuh maka ia harus dibunuh pula. Keputusan penjatuhan hukuman adalah hukuman mati atau penyaliban. Apabila ia mengambil harta dan tidak membunuh, maka pilihan hukumannya pada penghukuman mati, penyaliban atau potong tangan dan kaki secara timbal balik. Dan jika hanya menakut-nakuti lalu lintas, penguasa boleh memilih antara menghukum mati, menyalib, memotong tangan dan kaki, atau membuangnya. Menurut Imam Malik, sanksi hirabah ini diserahkan kepada Imam[16] untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai dengan kemaslahatan.[17]

Jika muharib itu termasuk orang yang mempunyai kepandaian dan keahlian, maka tuntutan ijtihad adalah dibunuh atau disalib, karena jika memotong anggota badan tidak akan menghilangkan bahayanya. Hanya mempunyai kekuatan dan senjata, maka penguasa memotong tangan dan kakinya dengan bertimbal balik. Apabila ia tidak memiliki salah satu dari dua sifat tersebut, maka penguasa menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, yaitu pemukulan dan pengasingan.

2. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa hukuman-hukuman tersebut diurutkan berdasarkan kejahatan-kejahatan yang telah diketahui urutanya dalam syara’. Maka tidak dihukum mati kecuali orang yang membunuh, tidak dihukum potong tangan kecuali orang yang mengambil harta, dan tidak diasingkan kecuali orang yang tidak mengambil harta dan tidak membunuh.

3. Sementara golongan fuqaha lainnya berpendapat bahwa penguasa dapat/boleh memilih secara mutlak, baik muharib tersebut membunuh atau tidak, dan mengambil harta atau tidak.

Hukuman bagi sebagian anggota pembegal/hirabah bersenjata tajam yang hanya meneror pengguna jalan, tidak merampas harta benda dan tidak menghilangkan nyawa adalah ditakzir dan dipenjara. Dalam kemaksiatan semacam ini tidak ada hukuman yang wajib diberlakukan dan tidak ada kewajiban membayar kafarat.

Jenis takziran diserahkan kepada imam. Kebijakan semacam ini merupakan cara yang paling tepat untuk menetralisir tindak kejahatan. Sanksi hukum yang diterapkan terhadap pembegal atau perampok disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang mereka perbuat. Hadd pembegalan ada empat golongan, disesuaikan dengan keterangan ayat tentang hadd kebanditan.

1. Golongan pertama, apabila mereka hanya merampas harta benda kurang lebih sebanyak satu nisab seperti tindak pencurian dan tidak melakukan pembunuhan terhadap seseorang, maka tangan dan kaki mereka harus dipotong secara silang. Jika dia mengulangi kejahatan serupa, maka tangan kira dan kaki kanan yang dipotong sekaligus atau berturut-turut.

2. Golongan kedua, apabila mereka melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta benda, mereka harus dihukum mati. Karena mereka mencoba mengintegrasikan rasa takut menggunakan jalan yang menuntut hukuman lebih berat ke dalam kejahatan mereka.

3. Golongan ketiga, apabila mereka melakukan pembunuhan sekaligus merampas harta benda sebanyak satu nisab atau lebih, maka mereka harus dihukum mati kemudian disalib selama tiga hari agar kondisi semacam ini terpublikasi dan sempurnanya efek jera. Tujuan dari penyaliban setelah hukuman mati ialah untuk menanamkan efek jera.

4. Golongan keempat, apabila mereka hanya menakut-nakuti pengguna jalan, tidak merampas harta benda dan tidak melakukan pembunuhan, mereka cukup dipenjara dan ditakzir.



D. Yang Dapat Menghapus Hukuman

Hadd ada yang gugur karena pertaubatan sebelum perkaranya sampai kepada hakim, tetapi ada pula yang tidak dapat gugur.

1. Hadd yang Gugur karena Pertaubatan

Yaitu hukuman karena menyerang secara paksa atau membegal. Hal ini berdasarkan Nash Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perbuatan penyerangan secara paksa yaitu, “kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Maidah: 34). Ayat ini sangat jelas menggugurkan hukuman mereka yang menyerang secara paksa tanpa harus dihukum mati, disalib, dipotong tangannya, dan dipotong kakinya.

Ketika sebagian hukuman telah digugurkan maka semua hukuman itu menjadi gugur karena pertaubatan yang dilakukannya sebelum mampu menangkapnya.

2. Hadd yang Tidak Dapat Digugurkan karena Pertaubatan

Ialah tuntutan hadd lain yang diberlakukan secara khusus karena melanggar hak Allah SWT. Menurut pendapat yang azhar, hadd ini meliputi hadd tindak pidana perzinaan, pencurian, dan meminum khamr. Pernyataan ini menurut jumhur ulama kecuali pengikut Madzhab Hanbali. [18]



BAB III 

PENUTUP 


A. Kesimpulan

Hirabah adalah delik kejahatan terhadap harta benda atau nyawa, atau meneror dan menebar ancaman dengan cara yang sulit meski telah meminta bantuan pemerintahan dan lain sebagainya. Pengertian hirabah hampir sama dengan pengertian pembegalan (qath’u ath-tahriq), yaitu tindak merampas harta, membunuh, atau menakut-nakuti dengan paksaan dan mengandalkan kekuatan.

Mengenai unsur khusus jarimah hirabah para fuqaha’ berbeda pendapat dengan yang lainnya. Menurut Imam Malik, perampokan dapat dilakukan baik di kota maupun di luar kota, tetapi Imam Abu Hanifah berkata bahwa bukan perampokan kalau dilakukan di dalam kota, karena ada pihak berwenang yang akan melindungi warganya. Sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa bila pihak yang berwenang lemah, tak dapat menolong atau melindungi warganya, maka perampokan bersenjata mungkin saja terjadi di dalam kota.

Dalam penjatuhan hukuman-hukuman tersebut, para fuqaha berselisih pendapat, apakah didasarkan atas pilihan atau diurutkan berdasarkan besar kecilnya perbuatan. Imam Malik berpendapat, apabila ia membunuh maka ia harus dibunuh pula. Keputusan penjatuhan hukuman adalah hukuman mati atau penyaliban. Menurut Imam Malik, sanksi hirabah ini diserahkan kepada Imam untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai dengan kemaslahatan. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa hukuman-hukuman tersebut diurutkan berdasarkan kejahatan-kejahatan yang telah diketahui urutanya dalam syara’. Hadd ada yang gugur karena pertaubatan sebelum perkaranya sampai kepada hakim, tetapi ada pula yang tidak dapat gugur. (QS. Al-Maidah: 34). Ayat ini sangat jelas menggugurkan hukuman mereka yang menyerang secara paksa tanpa harus dihukum mati, disalib, dipotong tangannya, dan dipotong kakinya.





DAFTAR PUSTAKA 



Abdul Qadir Audah. 1992. At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami. Juz II. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Departemen Agama RI. 2012. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Jakarta: Al-Kahfi.

Ibnu Rusyd. 1990. Bidayatul Mujtahid. Semarang: Asy-Syifa’. cet. I.

M. Agus Salim. 2016. Studi Komparatif tentang Hukuman Jarimah Hirabah Menurut Jumhur Fuqoha’ dan Imam Malik. Skripsi Semarang: UIN Walisongo.

M. Quraish Shihab. 2001. Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, Jilid 3 , Ciputat: Lentera Hati.

Sayid Sabiq. 1984. Fikih Sunnah. Terj. Moh. Nabhan Husein. Bandung: PT ALMA’ARIF.

Topo Santoso. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Wahbah Zuhaili. 2010. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta Timur: Almahira. cet.I.

Zainudin Ali. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Cet. Ke-2.




Footnote :

[1] Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami, Juz II, Beirut: Muassasah al-Risalah,1992, hlm. 638
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 322-324
[3] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Moh. Nabhan Husein, (Bandung: PT ALMA’ARIF, 1984), hlm. 175
[4] Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-2, hlm. 69
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 669
[6] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 322-324
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 669
[8] Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami, Juz I, Beirut: Muassasah al-Risalah,1992, hlm. 110-111
[9] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. I, hlm. 30
[10] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 324
[11] Syarat-syaratnya baligh, berakal, kuat ingatannya, dapat berbicara (terjadi khilafiyah), dapat melihat (terjadi khilafiyyah), adil, Islam, dan tidak menghalangi persaksian.
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 675
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Al-Kahfi, 2012, h. 113
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, Jilid 3 , Ciputat: Lentera Hati, 2001, hlm. 80
[15] M. Agus Salim, Studi Komparatif tentang Hukuman Jarimah Hirabah Menurut Jumhur Fuqoha’ dan Imam Malik, Skripsi (Semarang: UIN Walisongo, 2016), hlm. 11
[16] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 670
[17] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. I, hlm. 30
[18] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 324-326

MAKALAH : PEMBAGIAN KEKUASAAN

Gambar : Desain by +Ladlul Muksinin 




BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan kehidupan bernegara mengalami banyak perubahan. Konsep negara mulai mengalami pergeseran yang pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan beralih pada konsep negara yang mendasarkan atas hukum (rechtstaat). Ajaran negara berdasarkan atas hukum mengandung pengertian bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintah untuk tunduk pada hukum.

Atas dasar pernyataan diatas maka tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power) baik pada negara berbentuk kerajaan maupun republik. Secara maknawi, tunduk pada hukum mengandung pengertian pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian kekuasaan. Oleh sebab itu, negara berlandaskan hukum memuat unsur pemisahan atau pembagian kekuasaan.[1]

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah yang tersusun sebagai berikut, yaitu:

1. Apakah yang dimaksud dengan Teori Pembagian Kekuasaan?
2. Bagaimanakah Pembagian Kekuasaan Secara Horizontal dan Secara Vertikal?
3. Apakah yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?
4. Apakah yang dimaksud dengan Kekuasaan Legislatif?
5. Apakah yang dimaksud dengan Kekuasaan Eksekutif?
6. Apakah yang dimaksud dengan Kekuasaan Yudikatif?


Lihat juga MAKALAH : PEMBAGIAN KEKUASAAN

Bagi yang ingin mengunduh file asli silahkan ijin di kolom komentar agar ilmunya bermanfaat


BAB II

PEMBAHASAN


A. TEORI PEMBAGIAN KEKUASAAN

Ajaran pembagian kekuasaan negara semakin mendapatkan tempat dalam praktek penyelenggaraan negara, dengan berbagai variasi dan dinamika yang menyertainya. Ketiga kekuasaan (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap lembaga.


1. Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan

Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita melihat pada pelaksanaan trias politika sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan. Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri.[2]

Pembagian kekuasaan (division of power) adalah pemisahan kekuasaan secara formal yaitu pemisahan kekuasaan yang mana tiap bagiannya tidak dibatasi pemisahannya secara tegas (masih memungkinkan fungsi bersama). Sedangkan pemisahan kekuasaan (separation of power) adalah pemisahan kekuasaan secara materiil, yaitu bagian-bagiannya dipisahkan secara tegas.[3]

2. Teori “Trias Politika” Montesquieu (1689-1755)

Salah satu teori pemisahan kekuasaan dipopulerkan melalui ajaran Trias Politika Montesquieu. Dalam bukunya ”The Spirit of Laws” (1974) Montesquieu memberikan potret atas pemerintahan Inggris. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu:

a. Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang;
b. Kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan; dan
c. Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan untuk menghakimi.[4]

Tiga poros kekuasaan di atas oleh Immanuel Kant, filsuf yang datang kemudian disebut sebagai Trias Politika.[5] Pada hakikatnya, Trias Politika menghendaki kekuasaan-kekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuatan oleh pihak yang berkuasa.[6]

3. Teori John Locke (1632-1704)

Ajaran pemisahan kekuasaan dari Montesquieu diilhami oleh pandangan John Locke[7] dalam bukunya ”Two Treaties on Civil Government” dan praktek ketatanegaraan Inggris. Locke membedakan antara tiga macam kekuasaan yaitu:

a. Kekuasaan perundang-undangan;
b. Kekuasaan melaksanakan hal sesuatu (executive) pada urusan dalam negeri, yang meliputi Pemerintahan dan Pengadilan; dan
c. Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir asing guna kepentingan negara atau kepentingan warga negara dari negara itu yang oleh Locke dinamakan federative power. [8]

Ada perbedaan mendasar antara Locke dan Montesquieu dalam melihat kekuasaan kehakiman atau pengadilan. Bagi Locke, kehakiman/pengadilan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif. Bahkan oleh Locke pekerjaan pengadilan disebutkan pertama-pertama sebagai pelaksanaan undang-undang.[9] Namun bagi Montesquieu meskipun pemerintah dan pengadilan dua-duanya melaksanakan hukum, namun ada perbedaan sifat antara dua macam pekerjaan itu, yaitu pemerintah menjalankan hukum dalam tindakan sehari-hari, sedangkan pengadilan hanya bertindak mengambil suatu putusan menurut hukum dalam hal suatu pihak mengemukakan suatu pelanggaran hukum oleh lain pihak.

4. Teori “Catur Praja”

Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu:


1. Fungsi regeling (pengaturan);
2. Fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan);
3. Fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan
4. Fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.[10]



B. PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA HORIZONTAL DAN VERTIKAL DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN DI IDNONESIA

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) pemisahan kekuasaan dalam arti materil dapat disebut sebagai pemisahan kekuasaan. Sementara pemisahan kekuasaan dalam arti formil disebut dengan pembagian kekuasaan. Jimly Assiddiqie, berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances)[11]. Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.[12]

Menurut Jimly, menyatakan bahwa selama ini (sebelum amandemen), UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifar vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.[13]

Setelah UUD 1945 diamandemen, terjadi perubahan mendasar bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan oleh banyak lembaga negara menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar. Hal ini berarti bahwa tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara mendapat atribusi langsung dari UUD 1945 sebagai manifestasi kehendak rakyat. Akibatnya terjadi perubahan struktur dan mekanisme kelembagaan negara, dimana MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, MA, MK dan Badan Pemerikasa Keuangan berkedudukan sebagai lembaga negara tinggi. Hal ini berarti telah terjadi pergeseran prinsip dari pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal menjadi pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal.

Materi perubahan pada Perubahan Keempat UUD 1945 telah mereposisi kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara. Penguatan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan sistem pemerintahan presidensil telah menimbulkan pergeseran kekuasaan diantara eksekutif dan legislatif, serta menempatkan lembaga yudisial sebagai penegak supremasi hukum.[14]

Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan legilastif adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan kekuasaan eksekutif ada pada Presiden atau Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh badan peradilan seperti Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya.[15] Menurut Moh. Kosnardi dan Bintan R. Saragih (1994) bahwa UUD 1945 tidak menganut asas pemisahan kekuasaan, dengan tidak hanya menunjuk kerja sama antara DPR dan Pemerintah dalam tugas legslatif saja. Selain itu, pada Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945 tidak menjelaskan kekuasaan kehakiman, hanya saja pada Ayat 2 dirumuskan, bahwa kekuasaan kehakiman ini tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan lain.[16]




C. PEMERANTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia adalah negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi. Artinya, kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan tidak seluruhnya dijalankan oleh Pemerintah Pusat, melainkan sebagian diserahkan kepada daerah-daerah. Sistem desentralisasi ini melahirkan otonomi daerah, yang secara struktural diwujudkan dengan pembentukan Pemerintah Daerah.

Dengan sistem desentralisasi, pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada badan politik lokal (pemerintah daerah)[17]. Wewenang daerah yang diterima dari Pemerintah Pusat itu disebut otonomi daerah. Dasar konstitusional bagi berlakunya otonomi daerah, yang kemudian diikuti dengan pembentukan pemerintahan daerah adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah telah berkali-kali mengalami perubahan (amendemen). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.

1. Pemerintah Pusat

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan pusat dalam arti tidak diserahkan kepada daerah meliputi:

a. Politik luar negeri, misalnya, pengangkatan pejabat diplomatik;
b. Pertahanan, misalnya, membentuk angkatan bersenjata;
c. Keamanan, misalnya, membentuk kepolisian negara;
d. Yustisi, misalnya, kehakiman, peradilan;
e. Moneter, misalnya, berhubungan dengan uang atau keuangan; dan fiskal, misalnya, berkenaan dengan urusan pajak atau pendapatan negara;
f. Agama, misalnya, menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional.

Mengapa hal-hal tersebut di atas tidak diserahkan kepada pemerintah daerah? Kewenangan pemerintah pusat lebih pada perumusan kebijakan publik yang menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan urusan luar negeri, sedangkan kewenangan pemerintah daerah adalah sebagai berikut.

a. Kewenangan politik

Selama ini pemerintah pusat ikut campur dalam masalah pemilihan kepala daerah. Dengan adanya otonomi daerah, rakyat diberi kesempatan memilih langsung kepala daerahnya masing-masing. Kepala daerah yang terpilih bukan penguasa tunggal karena ia bertanggung jawab kepada DPRD. Apabila melanggar peraturan perundang-undangan, DPRD bisa memberhentikannya.

b. Kewenangan administrasi

Hal ini kaitannya dengan masalah keuangan. Pemerintah pusat memberikan dana (uang) kepada daerah, dan daerah mengelolanya untuk kepentingan-kepentingan organisasinya. Uang itu merupakan hasil pendapatan negara yang berasal dari sumber daya alam, pajak, dan bukan pajak yang sebagian juga berasal dari daerah.

2. Pemerintah Daerah

Penyelenggara pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan DPR Daerah. Pemerintah Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah yang dibantu oleh satu orang Wakil Kepala Daerah. Guna melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dibentuk perangkat daerah. Dalam uraian berikut, akan dibahas tentang Kepala Daerah, DPR Daerah, dan perangkat daerah.

Dalam menyelenggarakan kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat.

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah adalah:

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan bidang pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum dan pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.



D. KEKUASAAN LEGISLATIF

Badan Legislatif yaitu pembuat undang-undang pada umumnya di berbagai negara terdapat pada parlemen dalam negara itu, di Indonesia badan legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan badan-badan yang memiliki wewenang legislasi, kontrol dan anggaran. Tentunya disetiap negara badan legislatifnya tentu berbeda-beda ada yang menerapkan dengan sistem satu majelis dan dua majelis. Majelis tersebut juga diklasifikasikan kembali menjadi majelis rendah dan majelis tinggi.[18]

Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut[19] :

1. Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang- undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.

2. Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan.

3. Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.

4. Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.

5. Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.


E. KEKUASAAN EKSEKUTIF

Badan eksekutif terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden beserta menteri-menterinya. Dalam arti luas pegawai negeri sipil serta militer juga termasuk kedalam badan eksekutif. Badan eksekutif memiliki beberapa wewenang yang diantaranya mencakup berbagai bidang yaitu Administratif, Legislatif, Keamanan, Yudikatif memberi grasi, amnesti, abolisi dan sebagainya. Dan diplomatik untuk berhubungan dengan negara-negara lain.[20] Adapun Kekuasaan Eksekutif atau kekuasaan Pemerintah diatur dalam UUD 1945 Bab III Pasal 4 – 15.

Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.

Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.[21]

1. Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.

2. Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.

3. Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.

4. Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.

5. Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.

6. Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang- undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.



F. KEKUASAAN YUDIKATIF

Badan Yudikatif biasanya identik dengan kehakiman dimana badan ini bertugas sebagai mengadili dan memutuskan pelanggaran undang-undang. Diberbagai negara badan yudikatif memiliki berbagai persamaan. Di Indonesia badan Yudikatif terdiri atas Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (Ma), serta Komisi Yudisial (KY). MK adalah lembaga yudikatif tertinggi atas lembaga-lembaga yang lain setara dengan MA jika MA bisa digugat namun keputusan MK tidak dapat diajukan banding dan sifatnya sudah final. Sedangkan, KY pada dasarnya sebagai pengatur dari hakim-hakim konstitusi karena KY umumnya bersifat mengatur kode etik para hakim-hakim agung agar dapat menjalankan tugas kehakiman secara baik.[22]

Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).[23]

1. Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional).

2. Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.

3. Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.

4. Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.

5. International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).



BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan

Teori Pembagian Kekuasaan dikemukakan oleh beberapa tokoh, di antaranya adalah John Locke, Montesquieu dengan teori Trias Politikanya, C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow dengan Teori Catur Prajanya. Namun yang lebih banyak digunakan di berbagai negara adalah Teori Pembagian Kekuasaan Trias Politika dalam melaksanakan pembagian kekuasaan. Walaupun tidak sama persis, namun prinsip-prinsipnya tetap dipertahankan hingga sekarang.

Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Indonesia adalah negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi. Artinya, kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan tidak seluruhnya dijalankan oleh Pemerintah Pusat, melainkan sebagian diserahkan kepada daerah-daerah. Sistem desentralisasi ini melahirkan otonomi daerah, yang secara struktural diwujudkan dengan pembentukan Pemerintah Daerah.

Badan Legislatif yaitu pembuat undang-undang pada umumnya di berbagai negara terdapat pada parlemen dalam negara itu, di Indonesia badan legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan badan-badan yang memiliki wewenang legislasi, kontrol dan anggaran.

Badan eksekutif terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden beserta menteri-menterinya. Dalam arti luas pegawai negeri sipil serta militer juga termasuk kedalam badan eksekutif. Badan eksekutif memiliki beberapa wewenang yang diantaranya mencakup berbagai bidang yaitu Administratif, Legislatif, Keamanan, Yudikatif memberi grasi, amnesti, abolisi dan sebagainya

Badan Yudikatif biasanya identik dengan kehakiman dimana badan ini bertugas sebagai mengadili dan memutuskan pelanggaran undang-undang. Diberbagai negara badan yudikatif memiliki berbagai persamaan. Di Indonesia badan Yudikatif terdiri atas Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (Ma), serta Komisi Yudisial (KY).



DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi dan Kosntitusionalisme. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

                            . 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

                            . 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Bagir Manan. 2003. Hukum Tata Negara. Jakarta: Fakultas Hukum UII.

C.S.T Kansil. 1978. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Hotma P. Sibuea. 2014. Ilmu Negara. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak). Malang: Universitas Brawijaya Pers.

Mahfudz, Moh. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.

Meriam Budiarjo. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI.

Moh. Kusnardi dan R. Saragih. 1994. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wirjono Prodjodikono. 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta Timur: Dian Rakjat.



Footnote :

[1] Bagir Manan, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Fakultas Hukum UII, 2003), Hal. 11.
[2] Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988), Hal. 140.
[3] Isrok dan Dhia Al Uyun, Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak), (Malang: Universitas Brawijaya Pers), Hal. 125,
[4] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 13.
[5] Moh. Mahfudz, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), Hal. 273.
[6] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), Hal. 151.
[7] John Locke dianggap sebagai peletak dasar teori pembagian kekuasaan negara. Pikiran-pikiran tentang pembagian kekuasaan negara dituangkan oleh Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government”
[8] Wirjono Prodjodikono, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta Timur: Dian Rakjat, 1983), Hal. 16.
[9] Ibid.
[10] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 34.
[11] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Kosntitusionalisme, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 59.
[12] Op.cit, Jimly Asshiddiqie, Hal. 34.
[13] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), Hal. 29.
[14] Ibid.
[15] C.S.T Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), Hal. 11.
[16] Moh. Kusnardi dan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), Hal. 32.
[17] Hotma P. Sibuea, Ilmu Negara, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014), Hal. 276.
[18] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), Hal. 315-326.
[19] Diakses di halaman: http://www.landasanteori.com/2015/09/kekuasaan-legislatif-eksekutif.html pada tanggal 13 April 2016 pukul 13.00 WIB.
[20] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), Hal. 295-297.
[21] Diakses di halaman: http://www.landasanteori.com/2015/09/kekuasaan-legislatif-eksekutif.html pada tanggal 13 April 2016 pukul 13.00 WIB.
[22] Meriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2002), Hal. 350-361.
[23] Diakses di halaman: http://www.landasanteori.com/2015/09/kekuasaan-legislatif-eksekutif.html pada tanggal 13 April 2016 pukul 13.00 WIB.
Tinjauan Hukum Islam tentang Pidana Mati Bagi Penyalahguna Narkotika (UU NOMOR 35 TAHUN 2009)

Tinjauan Hukum Islam tentang Pidana Mati Bagi Penyalahguna Narkotika (UU NOMOR 35 TAHUN 2009)

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Akhir-akhir ini, peredaran dan pengonsumsian obat-obat terlarang, sabu-sabu dan segala macam jenisnya, menunjukkan gejala yang makin tak terkendali. Selain karena kemasan dan teknis pengedarannya yang luar biasa rapi, juga sangat dirasakan bahwa mekanisme kontrol pribadi anak-anak muda kita makin tidak jelas lagi.

PENGANTAR FIQIH MAWARIS

FIQIH

MAWARIS

Oleh : Ahmad Sarwat, Lc


Berikut Link Download untuk file Fiqih Mawaris : DOWNLOAD


Identitas Buku :

Judul Buku : Fiqih Mawaris 
Penulis : Ahmad Sarwat 
Penerbit : DU CENTER 
Cetakan : Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat

MAKALAH PES : LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH


Gambar : Desained by +Ladlul Muksinin 

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Hukum Islam pada dasarnya merupakan konsep yang baku, namun pada perjalanannya tidak menutup kemungkinan dilakukan ijtihad - ijtihad di dalam bidang yang dibolehkan selama tidak keluar dari bingkai Syari`ah Islamiyah. Sehingga Islam memang betul-betul mampu menjawab seluruh perkembangan zaman.

MAKALAH PES : KEBIJAKAN MONETER DALAM ISLAM

Gambar : Desained by +Ladlul Muksinin 

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijakan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakam laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

MAKALAH PES : KEBIJAKAN FISKAL DALAM ISLAM

Gambar : Desained by +Ladlul Muksinin 



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. 

Selama ini kita mengenal tiga sistem perekonomian yang berlaku di dunia yaitu sistem kapitalis, sistem sosialis dan sistem campuran. Salah satu dari tiga sistem tersebut diterapkan di Indonesia yaitu sistem campuran, dimana sistem campuran adalah sebuah sistem perekonomian dengan adanya peran pemerintah yang ikut serta menentukan cara-cara mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat. Tetapi campur tangan ini tidak sampai menghapuskan sama sekali kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan pihak swasta yang diatur menurut prinsip-prinsip cara penentuan kegiatan ekonomi yang terdapat dalam perekonomian pasar.


Bentuk-bentuk campur tangan pemerintah antara lain :


1. Membuat peraturan-peraturan, dengan maksud untuk menghindari praktek sehat dalam

perekonomian pasar.


2. Secara langsung ikut serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Ikut serta pemerintah

dilakukan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan yang menyediakan barang atau jasa
jasa dalam kehidupan masyarakat. Contoh: Perusahaan Air Minum

Kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan didalam bidang perpajakan (penerimaan) dan pengeluarannya, 
Kedua kebijakan ini merupakan wahana utama bagi peran aktif pemerintah dibidang ekonomi. Pada dasarnya sebagian besar upaya stabilisasi makro ekonomi berfokus pada pengendalian atau pemotongan anggaran belanja pemerintah dalam rangka mencapai keseimbangan neraca anggaran. Oleh karena itu, setiap upaya mobilisasi sumber daya untuk membiayai pembangunan publik yang penting hendaknya tidak hanya difokuskan pada sisi pengeluaran saja, tetapi juga pada sisi penerimaan pemerintah. Pinjaman dalam dan luar negeri dapat digunakan untuk menutupi kesenjangan tabungan. Dalam jangka panjang, salah satu potensi pendapatan yang tersedia bagi pemerintahan untuk membiayai segala usaha pembangunan adalah penggalakan pajak. Selain itu, sebagai akibat ketiadaan pasar-pasar uang domestik yang terorganisir dan terkontrol dengan baik, sebagian besar pemerintahan Negara- Negara Dunia Ketiga memang harus mengandalkan langkah-langkah fiskal dalam rangka mengupayakan stabilisasi perekonomian nasional dan memobilisasikan sumber-sumber daya ( keuangan) domestic.

Dari berbagai sistem ekonomi yang ada, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sistem ekonomi Islam dianggap sebagai smart solution dari berbagai sistem ekonomi yang ada karena secara etimologi maupun secara empiris, terbukti sistem ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi yang mampu memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang nyata dalam penerapannya pada saat zaman Rasullah Muhammad SAW dan pada masa Khalifah Islamiyah karena sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berdasarkan pada nilai keadilan dan kejujuran yang merupakan refleksi dari hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT.



B. Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah pengertian dari kebijakan fiskal ?

2. Bagaimanakah peranan kebijakan fiskal dalam perekonomian ?

3. Apa saja macam-macam kebijakan fiskal ?

4. Apa saja dampak kebijakan fiskal terhadap keseimbangan pasar barang-jasa?
5. Apa saja tujuan kebijakan fiskal ?
6. Bagaimanakah pengaruh kebijakan fiskal terhadap perekonomian ?
7. Bagaimanakah Kebijakan Fiskal dalam Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiscal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara.
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.Kebijakan Fiskal berbeda dengan kebijaka moneter, yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar.Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.
Kebijakan Fiskal yang sering disebut “politik fiskal” atau “fiscal policy” biasa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomia. Anggran belanja Negara terdiri dari penerimaan berupa haasil pungutan pajak dan pengeluaran yang dapat berupa “government expenditure” dan “government transfer’’, maka sering pula dikatakan bahwa kebijakan fiskal meliputi semua tindakan pemerintah yang berupa tindakan memperbesar atau memperkecil jumlah pungutan pajak memperbesar atau memperkecil “government expenditure” dan atau memperbesar atau memperkecil “government transfer” yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. [1]
Sadono Sukirno, 2003 Kebijakan Fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi.
Menurut Tulus TH Tambunan, kebijakan memiliki dua prioritas, yang pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil dari pengeluarannya. Dan yang kedua adalah mengatasi stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain ; pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan neraca pembayaran.
Sedangkaan menurut Nopirin, Ph. D. 1987, kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran pemerintah atau perpajakkan dengan tujuan untuk mempengaruhi besar serta susunan permintaan agregat. Indicator yang biasa dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara pengeluaran pemerintah (dan juga pembayaran transfer) dengan penerimaan terutama dari pajak.
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.
Berdasarkan dari beberapa teori dan pendapat yang dijelaskan diatas dapat kita simpulkan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara untuk mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik yang terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.

B. Peranan kebijakan fiskal dalam perekonomian
Peranan kebijakan fiskal dalam perekonomian dalam kenyataannya menunjukkan bahwa volume transaksi yang diadakan oleh pemerintah di kebanyakan Negara dari tahun ke tahun bertendensi untuk meningkat lebih cepat daripada meningkatnya pendapatan Nasional. ini berarti bahwa peranan dari tindakan fiskal pemerintah dalam turut menentukan tingkat pendapatan nasional lebih besar. Untuk Negara-negara yang sudah maju perekonomiannya, peranan tindakan fiskal pemerintah semakin besar dalam mekanisme pembentukan tingkat pendapatan nasional terutama dimaksudkan agar supaya pemerintah dapat lebih mampu dalam mempengaruhi jalannya perekonomian. Dengan demikian diharapkan bahwa dengan adanya kebijakan fiskal, pemerintah dapat mengusahakan terhindarnya perekonomian dari keadaan-keadaan yang tidak diinginkan seperti misalnya keadaan dimana banyak pengangguran, inflasi, neraca pembayaran internasional yang terus menerus deficit, dan sebagainya.
Bagi Negara-negara yamg sedang berkembang, pemerintah pada umumnya menyadari akan rendahnya investasi yang timbul atas inisiatif dari masyarakat sendiri. Dari bagian 1 kita telah mengetahui bahwa untuk meningkatnya tingkat hidup suatu masyarakat, kapasitas produksi nasional perlu ditingkatkan. Untuk memperbesar kapasitas produksi nasional dibutuhkan adanya capital formation. Dengan demikian berarti masyarakat perlu mengadakan investasi yang cukup besar untuk terwujudnya capital formation yang dibutuhkan tersebut.

C. Bentuk-bentuk kebijakan fiskal
Kebijakan fiskal dapat dibedakan kepada dua golongan : penstabil otomatik (bentuk-bentuk sistem fiskal yang sedang berlaku yang secara otomatik cenderung untuk menimbulkan kestabilan dalam kegiatan ekonomi) dan kebijakan fiskal diskresioner (langkah-langkah dalam bidang pengeluaran pemerintah dan perpajakan yang secara khusus membuat perubahan ke atas sistem yang ada, yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi).
Penstabil otomatik adalah sistem perpajakan yang progresif dan proporsional, kebijakan harga minimum, dan sistem asuransi pengangguran. Pajak progresif dan pajak proporsional, pajak ini biasanya digunakan dalam memungut pajak pendapatan individu dan praktekkan hampir disemua negara. Pada pendapatan yang sangat rendah pendapatan seseorang tidak perlu membayar pajak. Akan tetapi semakin tinggi pendapatan, semakin besar pajak dikenakan ke atas tambahan pendapatan yang diperoleh. Dibeberapa negara sistem pajak proporsional biasanya digunakan untuk memungut pajak ke atas keuntungan perusahaan-perusahaan korporat, yaitu pajak yang harus dibayar adalah proporsional dengan keuntungan yang diperoleh.
Jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam kebijakan anggaran yaitu:
a. Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance) kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat berbagai akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja.
b. Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach) kebijakan untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan pinjaman untuk mencapai ekonomi yang mantap.
c. Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget) kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat besarnya biaya dan manfaat dari berbagai program.
Jika dilihat dari perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :
d. Kebijakan Anggaran Seimbang
Kebijakan anggaran seimbang, adalah kebijakan anggaran yang menyusun pengeluaran sama besar dengan penerimaan.
e. Kebijakan Anggaran Defisit
Kebijakan anggaran defisit yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun pengeluaran lebih besar daripada penerimaan.
f. Kebijakan Anggaran Surplus
Kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun pengeluaran lebih kecil dari penerimaan.
g. Kebijakan Anggaran Dinamis
Kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran dengan cara terus menambah jumlah penerimaan dan pengeluaran sehingga semakin lama semakin besar (tidak statis). 

D. Dampak kebijakan fiskal terhadap keseimbangan pasar barang-jasa
Kebijakan fiscal dapat menggerakkan perekonomian, karena peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak mempunyai efek multiplier dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi rumah tangga. Begitu pula halnya apabila pemerintah melakukan pemotongan pajak sebagai stimulus perekonomian. Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable income dan akhirnya mempengaruhi permintaan..[2]

E. Tujuan kebijakan fiskal
Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalannya memperkecil pengeluaran konsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerintah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mencegah pengangguran dan menstabilkan harga, implementasinya untuk menggerakkan pos penerimaan dan pengeluaran dalam anggran pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan semakin kompleknya struktur ekonomi perdagangan dan keungan. Maka semakin rumit pula cara penanggulangan infalsi. Kombinasi beragam harus digunakan secara tepat seperti kebijakan fiskal, kebijakan moneter, perdagangan dan penentuan harga.[3]
Adapun kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan sebagai berikut :
a. Untuk meningkatkan laju investasi.
Kebijakan fiskal bertujuan meningkatkan dan memacu laju investasi disektor swasta dan sektor Negara. Selain itu, kebijakan fiskal juga dapat dipergunakan untuk mendorong dan menghambat bentuk investasi tertuntu. Dalam rangka itu pemerintah harus menerapkan kebijaan investasi berencana di sektor public, namun pada kenyataannya dibeberapa Negara berkembang dan tertinggal terjadi suatu problem yaitu dimana langkanya tabungan sukarela, tingkat konsumsi yang tinggi dan terjadi investasi dijalur yang tidak produktif dari masyarakat dinegara tersbut. Hal ini disebabkan tidak tersedianya modal asing yang cukup, baik swasta maupun pemerintha. Oleh karena itu kebijakan fiskal memberikan solusi yaitu kebijakan fiskal dapat meningkatkan rasio tabungan inkremental yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan, memacu, mendorong dan menghambat laju investasi. Menurut Dr. R. N. Tripathy terdapaat 6 metode yang diterapkan oleh pemerintah dalam rangka menaikkan rasio tabungan incremental bagi mobilisasi volume keuangan pembangunan yang diperlukan diantaranya; control fisik langsung, peningkatan tariff pajak yang ada,penerapan pajak baru, surplus dari perusahaan Negara, pinjaman pemerintah yang tidak bersifat inflationer dan keuangan deficit.
b. Untuk mendorong investasi optimal secara sosial.
Kebijakan fiskal bertujuan untuk mendorong investasi optimal secara sosial, dikarenakan investasi jenis ini memerlukan dana yang besar dan cepat yang menjadi tangunggan Negara secara serentak berupaya memacu laju pembentukkan modal. Nantinya invesati optimal secara sosial bermanfaat dalam pembentukkan pasar yang lebih luas, peningkatan produktivitas dan pengurangan biaya produksi.
c. Untuk meningkatkan kesempatan kerja.
Untuk merealisasikan tujuan ini, kebijakan fiskal berperan dalam hal pengelolan pengeluaran seperti dengan membentuk anggaran belanja untuk mendirikan perusahaan Negara dan mendorong perusahaan swasta melalui pemberian subsidi, keringanan dan lain-lainnya sehingga dari pengupayaan langkah ini tercipta tambahan lapangan pekerjaan. Namun, langkah ini harus juga diiringi dengan pelaksanaan program pengendalian jumlah penduduk.
d. Untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidak stabilan internasional
Kebijaksanaan fiskal memegang peranan kunci dalam mempertahankan stabilitas ekonomi menghadapi kekuatan-kekuatan internal dan eksternal. Dalam rangka mengurangi dampak internasional fluktuasi siklis pada masa boom, harus diterapkan pajak ekspor dan impor. Pajak ekspor dapat menyedot rejeki nomplok yang timbul dari kenaikkan harga pasar. Sedangkan bea impor yang tinggi pada impor barang konsumsi dan barang mewah juga perlu untuk menghambat penggunaan daya beli tambahan.
e. Untuk menanggulangi inflasi.
Kebijakan fiskal bertujuan untuk menanggulangi inflasi salah satunya adalah dengan cara penetapan pajak langsung progresif yang dilengkapi dengan pajak komoditi, karena pajak seperti ini cendrung menyedot sebagian besar tambahan pendapatan uang yang tercipta dalam proses inflasi.
f. Untuk meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional
Kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mendistribusikan pendapatan nasional terdiri dari upaya meningkatkan pendapatan nyata masyarakat dan mengurangi tingkat pendapatan yang lebih tinggi, upaya ini dapat tercipta apabila adanya investasi dari pemerintah seperti pelancaran program pembangunan regional yang berimbang pada berbagai sektor perekonomian.

F. Pengaruh kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu :
a. Bagaimana suatu kebijaksanaan fiskal diterjemahkan menjadi suatu APBN
b. Bagaimana APBN tersebut mempengaruhi perekonomian.
APBN mempunyai dua kategori, kategori yang pertama yaitu, mencatat pengeluaran dan penerimaan yang terdiri dari beberapa pos utama diantaranya :
PENERIMAAN 
o Pajak (berbagai macam)
o Pinjaman dari Bank Sentral
o pinjaman dari masyarakat dalam negeri
o Pinjaman dari luar negeri
PENGELUARAN 
o Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang/jasa
o Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai
o Pengeluaran pemerintah untuk transfer payment

Kebijakan anggaran pemerintah dahulu selalu mengharuskan kebijakan anggaran berimbang. Kebijakan anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Namun pada saat ini kebijakan anggran dapat menjadi kebijakan anggaran defisit (defisit budget), anggaran surplus (surplus budget).
Kebijakan anggaran emplisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Dalam hal ini, peningkatan pengeluaran yaitu pembelian pemerintah atas barang dan jasa. Peningkatan pembelian atau belanja pemeritah berdampak terhadap peningkatan pendapatan nasional. Contohnya pemerintah mengadakan proyek membangun jalan raya. dalam proyek ini pemerintah membutuhkan buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. dengan kata lain proyek ini menyerap SDM sebagai tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang bekerja di situ bertambah. Anggaran defisit memiliki keunggulan maupun kelemahan, salah satu keunggulannya adalah terdapat penertiban pada angka defisit dan nilai tambahan utang yang jelas dan lebih transparan serta bisa diawasi masyarakat. Menurut Menkeu Agus DW Martowardojo penerapan kebijakan anggaran defisit tujuannya untuk menciptakan ekspansi fiskal dan menguatkan pertumbuhan ekonomi agar tetap terjaga pada level yang tinggi. Umumnya sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif. . Anggaran defisit salah satunya dengan melakukan peminjaman/hutang, dahulu pemerintahan Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan meminjam dari Bank Indonesia, yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. Untuk menutup anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat, sayangnya rakyat tidak mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah. akhirnya, pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri. Ini merupakan salah satu kasus yang menggambarkan kelemahan dari anggaran defisit.
Sedangkan, anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

Anggaran surplus (Surplus Budget)/ Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Cara kerja anggara surplus adalah kebalikan dari anggaran defisit, uang yang didapat pemerintah dari pendapatan pajak lebih banyak dari yang dibelanjakan, pemerintah memenfaatkan selisihnya untuk melunasi beberapa hutang pemerintah yang masih ada. Surplus anggaran akan menaikkan dana pinjaman, mengurangi suku bunga dan meningkatkan investasi. Investasi yang lebih tinggi seterusnya dapat meningkatkan akumulasi modal dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.


G. Kebijakan Fiskal Dalam Islam
Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Kebijakan fiskal lebih banyak peranannya dalam ekonomi Islam dibanding dengan ekonomi konvensional. Hal ini disebabkan antara lain sebagai berikut:
a. Peranan moneter relatif lebih terbatas dalam ekonomi Islam dibanding dalam ekonomi konvensioanal yang tidak bebas bunga.
b. Dalam ekonomi Islam, pemerintah harus memungut zakat dari setiap muslim yang memiliki kekayaan melebihi jumlah tertentu (nisab) dan digunakan untuk tujuan-tujuan sebagaimana tercantum dalam QS Al-Taubah: 60.
c. Ada perbedaaan substansial antara ekonomi Islam dan non-Islam dalam peranan pengelolaan utang publik. Hal ini karena utang dalam Islam adalah bebas bunga, sebagian besar pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak atau berdasarkan atas bagi hasil. Dengan demikian, ukuran utang publik jauh lebih sedikit dalam ekonomi Islam dibanding ekonomi konvensioanal (Istanto, 2013: 1).
Menurut Metwally, setidaknya ada 3 tujuan yang hendak dicapai kebijakan fiskal dalam ekonomi islam.
a. Islam mendirikan tingkat kesetaraan ekonomi dan demokrasi yang lebih tinggi, ada prinsip bahwa “ kekayaan seharusnya tidak boleh hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. “ Prinsip ini menegaskan bahwa setiap anggota masyarakat seharusnya dapat memperoleh akses yang sama terhadap kekayaan melalui kerja keras dan usaha yang jujur.
b. Islam melarang pembayaran bunga dalam berbagai bentuk pinjaman. Hal ini berarti bahwa ekonomi Islam tidak dapat memanipulasi tingkat suku bunga untuk mencapai keseimbangan (equiblirium) dalam pasar uang (yaitu anatara penawaran dan permintaan terhadap uang). Dengan demikian, pemerintahan harus menemukan alat alternatif untuk mencapai equilibrium ini.
c. Ekonomi Islam mempunyai komitmen untuk membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang dan untuk menyebarkan pesan dan ajaran Islam seluas mungkin. Oleh karena itu, sebagaian dari pengeluaran pemerintah seharusnya digunakan untuk berbagai aktivitas yang mempromosikan Islam dan meningkatkan kesejahtaraan muslim di negara-negara yang kurang berkembang (Istanto, 2013: 1).
Jika melihat praktek kebijakan fiskal yang pernah diterapakn oleh Rasulullahndan Khulafaurrasyidin, maka kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dapat dibagi dalam 3 hal, yaitu:
a. Kebijakan pemasukan dari kaum Muslimin, yaitu:
1) Zakat, yaitu salah satu dari dasar ketetapan Islam yang menjadi sumber utama pendapatan di dalam suatu pemerintahan Islam pada periode klasik.
2) Ushr, yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dimana pembayarannya hanya sekali dalam satu tahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Yang menarik dari kebijakan Rasulullah adalah dengan menghapuskan semua bea impor dengan tujuan agar perdagangan lancar dan arus ekonomi dalam perdangan cepat mengalir sehingga perekonomian di negara yang beliau pimpin menjadi lancar. Beliau mengatakan bahwa barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah muslim, bila sebelumya telah terjadi tukar menukar barang.
3) Wakaf adalah harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah SWT dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
4) Amwal Fadhla berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
5) Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang tabuk.
6) Khumus adalah harta karun/temuan. Khumus sudah berlaku pada periode sebelum Islam.
7) Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan seorang muslim pada acara keagamaan seperti berburu di musim haji. Kafarat juga biasa terjadi pada orang-orang muslim yang tidak sanggup melaksanakan kewajiban seperti seorang yang sedang hamil dan tidak memungkin jika melaksanakan puasa maka dikenai kafarat sebagai penggantinya (Sirojuddin, 2013: 1).
b. Kebijakan pemasukan dari kaum non muslim, yaitu:
1) Jizyah (tribute capitis/ pajak kekayaan) adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya ahli kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.
2) Kharaj (tribute soil/pajak, upeti atas tanah) adalah pajak tanah yang dipungut dari kaum nonmuslim ketika khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Prosedur yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang penting.
3) ‘Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham (Sirojuddin, 2013: 1).
c. Kebijakan Pengeluaran
Kebijakan Pengeluaran pendapatan negara didistrubusikan langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Di antara golongan yang berhak menerima pendapatan (distribusi pendapatan) adalah berdasarkan atas kreteria langsung dari Allah S.W.T yang tergambar di dalam al-Qur’an QS. At-Taubah Ayat 90:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. (QS. 9:60)
Orang-orang yang berhak menerima harta zakat ini terkenal dengan sebutan delapan ashnaf. Delapan asnab ini langsung mendapat rekomendasi dari Allah S.W.T sehingga tidak ada yang bisa membatahnya. Ini artinya kreteria dalam al-Qur;an terhadap orang-orang yang berhak mendapatkan atas kekayaan negara lebih rinci dibandingkan dengan kreteria yang tetapkan oleh pemerintah kita yang secara umum di-inklud-kan kepada orang-orang miskin saja (Sirojuddin, 2013: 1).




BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.Kebijakan fiskal dapat dibedakan kepada dua golongan : penstabil otomatik dan kebijakan fiskal diskresioner. Jika dilihat dari perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu :Kebijakan Anggaran Seimbang, Kebijakan Anggaran Defisit, Kebijakan Anggaran Surplus, Kebijakan Anggaran Dinamis.
Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mencegah pengangguran dan menstabilkan harga, implementasinya untuk menggerakkan pos penerimaan dan pengeluaran dalam anggran pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu : bagaimana suatu kebijaksanaan fiskal diterjemahkan menjadi suatu APBN dan bagaimana APBN tersebut mempengaruhi perekonomian.
Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Kebijakan fiskal lebih banyak peranannya dalam ekonomi Islam dibanding dengan ekonomi konvensional


DAFTAR PUSTAKA

Soediyono Reksoprayitno, “Pengantar Ekonomi Makro edisi 6”, BPFE-Yogyakarta.2000
http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-fiskal.html
Prathama rahardja dan Mandala manurung, “Teori Ekonomi Makro dan Suatu Pengantar edisi 3”, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.2005
Boediono, “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.2 Ekonomi Makro edisi 4”BPFE-Yogyakarta.1982.

                                          
[1] Soediyono Reksoprayitno, “Pengantar Ekonomi Makro edisi 6”, BPFE-Yogyakarta.2000 hal.97-98
[2] http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-fiskal.html
[3] Pratama rahardja dan mandala manurung, Teori Ekonomi Makro dan Suatu Pengantar edisi 3, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2005
Back To Top