Emytos
PERINGATAN : Beberapa fitur mungkin tidak akan berfungsi karena template masih dalam perbaikan.

MAKALAH HADIS : MALU

Sumber Gambar : http://www.voa-islam.com/photos/mumtaz/akhwat-muslimah-3.jpg


BAB 1
P E N D A H U L U A N

A.           Latar belakang
Jika makna malu adalah mencegah dari melakukan sesuatu yang tercela, maka seruan untuk memiliki malu pada dasarnya adalah seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Di samping itu rasa malu adalah ciri khas dari kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh setiap manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah kekurangan dan suatu aib.
Pada dasarnya, islam dalam keseluruhan hukum dan ajarannya, adalah ajakan yang bertumpu pada kebaikan dan kebenaran. Juga merupakan seruan untuk meninggalkan setiap hal yang tercela dan memalukan[1].
Manusia sekarang sudah jarang yang memiliki rasa malu contohnya dalam kehidupan sehari- hari kita kita sering menyaksikan manusia yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu bila melanggar hati nurani dan aturan hidup. Cobalah anda lihat dan baca melalui media masa. Tidak sedikit manusia yang dengan bebasnya melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hati nurani dan norma masyarakat yang berlaku. Dari mulai  mereka berpakaian, bersikap dan bertingkah laku.
Jadi sebagai Orang tua dan para pendidik juga ikut berkewajiban untuk menanamkan rasa malu secara sungguh-sungguh. Untuk itu, hendaknya mereka menggunakan berbagai metode pendidikan yang baik, seperti mengawasi perilaku anak-anak dan segera meluruskan jika melihat perbuatan yang bertentangan dengan rasa malu, memilihkan teman bermain yang baik, memilihkan buku-buku yang bermanfaat, menjauhkan dari berbagai tontonan yang merusak, dan menjauhkan dari omongan yang tidak baik.

B.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, akan timbul beberapa pertanyaan di antaranya:
1.           Apa pengertian dan maksud malu?
2.           Apa macam-macam malu?
3.           Bagaimana menumbuhkan rasa malu?
4.           Apa keutamaan dari sifat malu?






BAB II
P E M B A H A S A N

A.           Pengertian dan Maksud Malu
Menurut bahasa kata malu berasal dari bahasa Arab yaitu  ﺤﻴﺎﺀ (malu) merupakan leburan dari kata ﺤﻴﺎۃ  ( hidup).  Malu dibangun di atas dasar hidupnya hati, hati semakin hidup maka rasa malu akan semakin bertambah, bila keimanan mati di dalam hati maka rasa malu akan hilang, barang siapa yang telah hilang rasa malunya maka dia adalah orang mati di dunia dan kecelakaan  di akhirat.
Menurut Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari berkata : berkata Ar Raghib : malu adalah menahan jiwa dari segala keburukan, ia adalah kekhususan manusia untuk  menahan dari segala bentuk keinginan agar  tidak seperti binatang.
Malu menurut para ulama’ adalah selalu berontak kepada sifat-sifat tercela, pantang menolak kebenaran. Ia selalu cenderung mengikuti seruan petunjuk nabi yang dipahami dari hadist-hadistnya, selalu melakukan kebaikan dan menghargai pelaku kebaikan. Ia menuntun kepada sikap dan tindakan yang berguna di dalam masyarakatnya.[2]

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَان

“Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.'" (Diriwayatkan al Bukhari). [3]
Rasa malu yang dapat menjadikan seseorang menghindari perbuatan keji adalah akhlak yang terpuji, karena akan menambah sempurnanya iman dan tidak mendatangkan satu perbuatan kecuali kebaikan. Namun rasa malu yang berlebih-lebihan hingga membuat pemiliknya senantiasa dalam kekacauan dan kebingungan serta menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu, maka ini adalah akhlak tercela, karena ia merasa malu bukan pada tempatnya.[4]
Lawan dari malu adalah rasa tidak tahu malu. Ini adalah sifat yang tercela, karena mendorong pemiliknya untuk melakukan kejahatan, tidak peduli dengan segala cercaaan, hingga ia melakukan kejahatannya secara terang-terangan. Rasulullah Saw bersabda, “Semua hambaku akan dimaafkan, kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan”.

B.            Macam-macam Malu
Dalam ajaran agama disebutkan “malu adalah sebagian dari iman“.  ini berarti bahwa malu merupakan salah satu nilai budi pekerti yang harus di miliki oleh manusia. Dan juga Rasulullah SAW bersabda, “Memiliki rasa malu itu merupakan manifestasi dari iman” (HR. Bukhari).
Pada hakikatnya rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak. Dalam kajian aqidah akhlak sifat malu terbagi menjadi tiga:
1.        Malu Terhadap Diri Sendiri
Orang yang mempunyai malu terhadap dirinya sendiri, saat melihat dirinya sangat sedikit sekali amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah SWT serta kebaikannya kepada masyarakat di lingkungannya, maka rasa malunya akan mendorongnya untuk meningkatkan amal ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Orang yang mempunyai rasa malu terhadap dirinya sendiri, saat melihat orang lain lebih berprestasi darinya, dia akan malu, dan dia akan mendorong dirinya untuk menjadi orang yang berprestasi.
2.        Malu Terhadap Sesama  Manusia
Orang yang merasa malu terhadap manusia akan malu berbuat kejahatan dan maksiat. Dia tidak akan menganiaya dan mengambil hak orang lain. Walaupun malu yang seperti ini bukan didasari karena Allah SWT melainkan karena dorongan rasa malu terhadap orang lain, tapi insya Allah orang tersebut mendapat ganjaran dari Allah SWT dari sisi yang lain. Tapi perlu dicatat, orang yang merasa malu karena dorongan adanya orang lain yang memperhatikan, sementara ketika sendiri dia tidak malu, maka sama artinya orang itu merendahkan dan tidak menghargai dirinya.
Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina.  Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.
3.        Malu kepada Allah
Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.”(HR Bukhari).
Malu seperti ini akan menimbulkan kesan yang baik. Orang yang memiliki rasa malu terhadap Allah SWT akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya, karena ia yakin bahwa Allah SWT senantiasa melihatnya.
Bila kita kembali kepada hadis Rasulullah di atas yang mengatakan rasa malu adalah manifestasi dari iman, maka hanya orang-orang yang imannya menancap kuat dan tumbuh yang memiliki tingkat sensitivitas rasa malu yang sangat tinggi.
Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

C.           Menumbuhkan Rasa Malu
Menumbuhkan rasa malu dalam kehidupan itu ada banyak cara di antaranya yaitu dengan mulai dari yang kecil dari diri kita sendiri yaitu dengan membiasakan berkata jujur dan berperilaku yang benar, pada saat kita bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan maka jika kita memang dari awalnya sudah biasa melakukan kebaikan maka sikap dan perilaku kita akan baik tetapi jika  kita terbiasa berbuat salah maka perilaku kita juga akan selalu salah.
Karena dalam kehidupan manusia yang selalu berbuat salah jika mereka berbuat benar malah mereka merasa malu karena mereka sudah terbiasa berbuat salah dan jika manusia itu terbiasa berbuat benar maka jika mereka salah mereka juga akan malu berbuat salah karena mereka terbiasa berbuat benar maka dari itu mulai dari sekarang kita harus membiasakan berkata dan berperilaku yang benar karena itu adalah awal supaya kita sebagai makhluk yang berbudaya dapat menumbuhkan lagi rasa malu dalam diri kita.
Dan cara lainnya menumbuhkan rasa malu yaitu dengan mempertegas hukuman bagi pelanggar kejahatan karena tanpa adanya tindakan yang tegas bagi mereka yang melanggar maka rasa malu pada masyarakat akan semakin kecil bahkan semakin tidak ada,sebaliknya jika hukuman bagi pelanggar hukum di pertegas maka maka rasa malu pun akan tumbuh dan cara lainnya yaitu dengan mempertebal penanaman moralitas agama karena moralitas agama adalah jalur cukup kuat dalam menanamkan rasa malu seseorang.

D.           Keutamaan Malu
Beberapa keutamaan ilmu berikut ini, yaitu:
1.    Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina. Rasulullah SAW bersabda,

بِخَيْـرٍ. إِلاَّ يَأْتِيْ لاَ اَلْـحَيَاءُ

“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [5]
(Muttafaq ‘alaihi)
Karena rasa malu adalah kebaikan. Jadi semakin tebal rasa malu yang dimiliki, maka semakin banyak kebaikannya dan semakin sedikit rasa malu yang dimiliki, maka semakin sedikit kebaikannya.
2.    Malu adalah cabang keimanan.
3.    Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah SAW bersabda,
ﺍﻦ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﺯ ﻮﺠﻞ ﺤﻲ ﺴﺘﯦ ﺮﯦﺤﺐ ﺍﻟﺤﯦﺍﺀ ﻮﺍﻟﺴﺘﺮ, ﻔﺈﺬ اغتسل احدكم فليستتر

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.” (HR.Abû Dawud)
4.     Malu adalah alah islam dan akhlak para Malaikat
5.    Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
6.    Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
7.    Tidak perlu malu saat mengajarkan masalah-masalah agama dan saat mencari kebenaran. Di dalam Al-Qur’an surat Al-Azhab: 53, Allah berfirman, “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.”
8.      Rasa malu akan membuahkan iffah (kesucian diri). Maka barang siapa yang memiliki rasa malu, hingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia telah menjaga kesucian dirinya.


















BAB III
P E N U T U P

A.           Kesimpulan
1.             Kata malu adalah leburan dari kata ﺤﻴﺎۃ   ( hidup).  Malu dibangun di atas dasar hidupnya hati, hati semakin hidup maka rasa malu akan semakin bertambah, bila keimanan mati di dalam hati maka rasa malu akan hilang, barang siapa yang telah hilang rasa malunya maka dia adalah orang mati di dunia dan kecelakaan  di akhirat.
2.             Pada hakikatnya rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak. Dalam kajian aqidah akhlak sifat malu terbagi menjadi tiga : Malu kepada diri sendiri, malu kepada sesama manusia, malu kepada Allah.
3.             Menumbuhkan rasa malu dalam kehidupan itu ada banyak cara di antaranya yaitu dengan mulai dari yang kecil dari diri kita sendiri yaitu dengan membiasakan berkata jujur dan berperilaku yang benar.
4.             Sifat malu mempunyai beberapa keutamaan, di antaranya : malu dapat mengantarkan seseorang masuk surga, mencegah seseorang berbuat maksiat, malu adalah akhlak malaikat dan malu adalah cabang dari iman.

5.             Saran dan Penutup
Telah menjadi sebuah kewajiban bagi kita sebagai umat islam yang berakhlakul karimah, untuk memiliki sifat malu. Karena malu adalah sebagian dari iman, maka iman seseorang dapat akan bertambah kuat apabila mempunyai sifat malu yang kuat dan begitu pun sebaliknya  Malu dapat menjaga kesucian diri kita dan menjaga kehormatan diri kita.
Demikian makalah yang kami buat tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan, penulis mengharap kritik dan saran yang mendukung demi terwujudnya makalah yang baik.
Meskipun jauh dari kesempurnaan, penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Bugha, Musthafa Dieb, 2003. Al-Wafi Menyelami makna 40 hadist Rasulullah SAW, (Al-I’tishom, Jakarta Timur)
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, 2014. Mutiara Hadis Shahih Bukhari-Muslim, Sukoharjo: Penerbit Al-Andalus Solo.
Nashiruddin, Syaikh Muhammad, 2000. Shahih St-Taghrib bab Adab, Jakarta: Maktabah al-Ma’arif,




[1] Musthafa Dieb Al-Bugha, Al-Wafi Menyelami makna 40 hadist Rasulullah SAW, (Jakarta Timur: Al-I’tishom, 2003), Hal 153.
[3] Syaikh Muhammad Nashiruddin, Shahih St-Taghrib bab Adab, (Jakarta: Maktabah al-Ma’arif, 2000), Hal.153
[4] Op.cit. Al-Wafi. Hal. 154
[5] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mutiara Hadis Shahih Bukhari-Muslim, (Sukoharjo: Penerbit Al-Andalus Solo, 2014), Hal. 19

MAKALAH HADIS : RUKUN IMAN

Sumber Gambar : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAtTSHG_HRIDPgn5E5RqSsIFgqqDNSW3I3Ddl_VIoTdbIqwW3i1yvhy_nUN3lsVG5dea6ivCAqG1BTEK3KOFel7sSXjG_dKtpaOx-W5dCW7DxkK0wEG334kcZa5CTfSkSXhyE1egxXbkw/s1600/rukun+iman.jpg



B A B  I

P E N D A H U L U A N



A. Latar Belakang Masalah

Beragama adalah suata bentuk keyakinan manusia terhadap berbagai hal yang yang diajarkan oleh agama yang dianutnya. Beragama berarti meyakini secara bulat terhadap pokok-pokok ajaran dan keyakinan sebuah agama. Oleha keran itu, tidak ada manusia yang mengaku beragama tanpa ia meyakini apa-apa yang ditetapkan oleh agama tersebut.
Dalam agama Islam terdapat pilar-pilar keimanan yang dikenal dengan rukun Iman, terdiri dari enam pilar. Ke enam pilar tersebut adalah keyakinan Islam terhadap hal-hal yang “ghoib” yang hanya dapat diyakini secara transedental, sebuah kepercayaan terhadap hal-hal yang diluar daya nalar manusia. Rukun Iman (pilar keyakinan) ini adalah terdiri dari: 1) iman kepada Allah (Patuh dan taat kepada Ajaran Allah dan Hukum-hukumNya), 2) iman kepada Malaikat-malaikat Allah (mengetahui dan percaya akan keberadaan kekuasaan dan kebesaran Allah di alam semesta), 3) iman kepada Kitab-kitab Allah (melaksanakan ajaran Allah dalam kitab-kitabNya secara hanif. Salah satu kitab Allah adalah Al-Qur'an), 4) iman kepada Rasul-rasul Allah (mencontoh perjuangan para Nabi dan Rasul dalam menyebarkan dan menjalankan kebenaran yang disertai kesabaran), 5) iman kepada hari Kiamat (aham bahwa setiap perbuatan akan ada pembalasan) dan 6) iman kepada Qada dan Qadar (paham pada keputusan serta kepastian yang ditentukan Allah pada alam semesta).
 Enam pilar keimanan umat Islam tersebut merupakan sesuatu yang wajib dimiliki oleh setiap muslim. Tanpa mempercayai salah satunya maka gugurlah keimanannya, sehingga mengimani ke enam rukun iman tersebut merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Oleh karena itu, penulis akan mengkaji berbagai hal yang meyangkut enam pilar keimanan tersebut, baik dalil-dalilnya maupun pengaruh keimanan tersebut terhadap kehidupan seorang muslim. Diharapkan kajian tersebut akan menambah pemahaman penulis mengenai pentingnya rukun iman dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka berikut ini rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan rukun Iman?
2. Apakah kedudukan rukun Iman dalam agama Islam?
3. Apakah makna rukun iman terhadap kehidupan seorang muslim?

B A B  II
P E M B A H A S A N

A. Pengertian Rukun Iman
Rukun Iman dapat diartikan sebagai pilar keyakinan, yakni pilar-pilar keyakinan seorang muslim, dalam hal ini terdapat enam pilar keyakinan atau rukun iman dalam ajaran Islam, yaitu:
  1. Iman kepada Allah, patuh dan taat kepada Ajaran Allah dan Hukum-hukum-Nya.
  2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah, Mengetahui dan percaya akan keberadaan kekuasaan dan kebesaran Allah di alam semesta.
  3. Iman kepada Kitab-kitab Allah, Melaksanakan ajaran Allah dalam kitab-kitabNya secara hanif. Salah satu yaitu Al-Qur'an. Al-Qur'an memuat tiga kitab Allah sebelumnya, yaitu kitab-kitab ZaburTaurat, dan Injil.
  4. Iman kepada Rasul-rasul Allah, Mencontoh perjuangan para Nabi dan Rasul dalam menyebarkan dan menjalankan kebenaran yang disertai kesabaran.
  5. Iman kepada hari Kiamat, Paham bahwa setiap perbuatan akan ada pembalasan
  6. Iman kepada Qadha dan Qadar.
o    Paham pada keputusan serta kepastian yang ditentukan Allah pada alam semesta
Mengenai rukun iman ini berikut dalil-dalilnya:
”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialahberiman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, dan nabi-nabi…” (Al-Baqarah:177)
Begitu juga nabi shalallahu alaihi wa salam bersabda dalam hadits Jibril: ”Iman ituadalah hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, dan hari akhir. Dan engkau beriman kepada takdir Allah, yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim)

B. Penjelasan Ringkas Tentang Rukun Iman
1. Iman Kepada Allah Ta’ala
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah Rabb dan Raja segala sesuatu, Dialah Yang Mencipta, Yang Memberi Rizki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak diibadahi. Kepasrahan, kerendahan diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah tidak boleh diberikan kepada selain-Nya, Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan, serta Dia bersih dari segala cacat dan kekurangan.
Mempercayai bahwa Allah itu adalah Zat (essensi) dan Ada (eksistensi) pada Allah Maha Esa itu merupakan satuan, Ada pada Allah itu bersifat mutlak, berbeda dengan eksistensi manusia bersifat nisbi. Aliran Sunni menambahkan beberapa Sifat-Ilah yang merupakan suatu kemestian, yaitu Azali (al-Qidam), kekal tanpa batas (al-Baqa), berbeda dengan setiap kebaharuan (Mukhâlafat lil Hawâdits), keberadaannya itu pada zat-Nya sendiri (Qiyâmuhu bi Nafsihi), maha esa (al-Wahdâniyat), berkemampuan tanpa batas (al-Qudrat), berkemauan tanpa hambatan (al-Irâdat), tahu atas setiap sesuatu (al-u), hidup (al-Hayt), mendengar (al-Samak), menyaksikan (al-Bashar), berbicara menurut zat-Nya (al-Kalam).

2. Iman Kepada Para Malaikat-Nya
Iman kepada malaikat adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat, yang diciptakan dari cahaya. Mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah, adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Adapun yang diperintahkan kepada mereka, mereka laksanakan. Mereka bertasbih siang dan malam tanpa berhenti. Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir dari nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Jadi, setiap gerakan di langit dan di bumi, berasal dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai pelaksanaan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka, wajib mengimani secara tafshil (terperinci), para malaikat yang namanya disebutkan oleh Allah, adapun yang belum disebutkan namanya, wajib mengimani mereka secara ijmal (global).

3. Iman Kepada Kitab-Kitab
Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenarnya bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya, yang benar-benar merupakan Kalam (firman, ucapan)-Nya. Ia adalah cahaya dan petunjuk. Apa yang dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara ijmal, kecuali yang telah disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib baginya mengimaninya secara tafshil, yaitu Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an. Selain wajib mengimani bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula mengimani bahwa Allah telah mengucapkannya sebagaimana Dia telah mengucapkan seluruh kitab lain yang diturunkan. Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an merupakan tolok ukur kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur’anlah yang dijaga oleh Allah dari pergantian dan perubahan. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan, dan bukan makhluk, yang berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.

4. Iman Kepada Rasul-rasul
Iman kepada rasul-rasul adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah mengutus para rasul untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Kebijaksanaan-Nya telah menetapkan bahwa Dia mengutus para rasul itu kepada manusia untuk memberi kabar gembira dan ancaman kepada mereka. Maka, wajib beriman kepada semua rasul secara ijmalsebagaimana wajib pula beriman secara tafshil kepada siapa di antara mereka yang disebut namanya oleh Allah, yaitu 25 diantara mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Wajib pula beriman bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi selain mereka, yang jumlahnya tidak diketahui oleh selain Allah, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama mereka selain Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Wajib pula beriman bahwa Muhammad shalalallahu alaihi wa salam adalah yang paling mulia dan penutup para nabi dan rasul, risalahnya meliputi bangsa jin dan manusia, serta tidak ada nabi setelahnya.
Kecuali mesti beriman terhadap Nabi Muhammad, yang merupakan bagian kedua pada Syahadatain, maka setiap Muslim diwajibkan pula mempercayai Rasul-Rasul Allah pada masa-masa sebelumnya dan memuliakannya. Di dalam kitab suci Al-Qur'an terdapat nama dua puluh lima Rasul Allah, yang satu persatunya disebutkan dengan nyata, yaitu : Adam, Idris, Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishak, Yaakub, Yusuf, Ayub, Zulkifli, Syu'aib, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Yunus, Zakharia, Yahya, Isa,
            Beberapa dalil mengenai adanya rasul Allah adalah sebagai berikut:
1)  "Kami utus pada setiap ummat itu seorang Rasul", (Nahal, 16:36).
2)      "Kami tidak akan memikulkan siksa (atas sesuatu ummat) kecuali lebih dahulu Kami utus seorang Rasul," (Isra', 17:15).

5. Iman Kepada Kebangkitan Setelah Mati
Iman kepada kebangkitan setelah mati adalah keyakinan yang kuat tentang adanya negeri akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang berbuat baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni dosa apapun selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian alba’ts (kebangkitan) menurut syar’i adalah dipulihkannya badan dan dimasukkannya kembali nyawa ke dalamnya, sehingga manusia keluar dari kubur seperti belalang-belalang yang bertebaran dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi penyeru. Kita memohon ampunan dan kesejahteraan kepada
Allah, baik di dunia maupun di akhirat.

6. Iman Kepada Takdir Yang Baik Maupun Yang Buruk Dari Allah Ta’ala.
Iman kepada takdir adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa segala kebaikan dan keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah ta’ala telah mengetahui kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali, sebelum menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, sesuai dengan apa yang telah diketahui-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di dalam Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannya. Allah berfirman”Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut qadar (ukuran).” (Al-Qomar: 49)

C. Pengaruh Iman terhadap Kehidupan Seorang Muslim
            Berikut ini adalah pembahasan mengenai pengaruh dan dampak keimanan seseorang muslim terhadap perilakunya sehari-hari.
1. Pengaruh Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah serta iman kepada sifat-sifatnya akan mempengaruhi perilaku seorang muslim, sebab keyakinan yang ada dalam dirinya akan dibuktikan pada dampak perilakunya. Jika seseorang telah beriman bahwa Allah itu ada, Maha Melihat dan Maha Mendengar, maka dalam perilakunya akan senantiasa berhati-hati dan waspada, ia tidak akan merasa sendirian, kendati tidak ada seorang manusiapun di sekitarnya, sebab ia yakin bahwa Allah itu ada. Karena itu selama iman itu ada dalam dirinya, tidak mungkin ia dapat berbuat yang tidak sesuai dengan perintah Allah.
2.      Pengaruh Iman Kepada Malaikat
Keyakinan terhadap adanya malaikat, bukan hanya sebatas mengetahui nama dan tugas-tugasnya, akan berpengaruh terhadap perilaku manusia. Jika kita yakin ada malaikat yang mencatat semua amal baik dan buruk kita, maka seorang muslim akan senantiasa berhati-hati dalam setiap perbuatannya karena ia akan menyadari bahwa semua perilakunya tersebut akan dicatat oleh malaikat. Begitu juga dengan keyakinan adanya malaikat, maka seorang muslim akan senantiasa optimis dan yakin perbuatan yang baiknya tidak akan sia-sia dilakukan. Oleh karena itu iman kepada malaikat akan melahirkan sikap berhati-hati, optimis, dan dimanis, tidak mudah putus asa atau kecewa.
3. Pengaruh Iman Kepada Kitab
Iman kepada kitab Allah bagi manusia dapat memberikan keyakinan yang kuat akan kebenaran jalan yang ditempuhnya, karena jalan yang harus ditempuh manusia telah diberitahukan Allah dalam kitab suci. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk melihat masa depan yang akan ditempuhnya setelah kehidupan untuk melihat masa depan yang akan ditempuhnya setelah hidup berakhir, maka dengan pemberitahuan kitab suci manusia dapat mengatur hidupnya menyesuaikan dengan rencana Allah, sehingga manusia mempunyai masa depan yang jelas.
4. Pengaruh Iman Kepada Rasul
Iman kepada rasul merupakan kebutuhan manusia, karena dengan adanya rasul maka manusia dapat melihat contoh-contoh perilaku dan teladan terbaik yang sesuai dengan apa yang diharapkan Allah. Dengan perilaku yang dicontohkan Rasulullah, maka manusia akan mempunyai pegangan yang jelas dan lengkap mengenai berbagai tuntutan kehidupan baik yang berhubungan dengan Allah, hubungan antar manusia maupun lainnya.
5. Pengaruh Iman Kepada Hari Akhir
Beriman kepada hari akhir atau hari kiamat adalah keyakinan akan datangnya hari akhir sebagai ujung perjalanan umat manusia. Keimanan tersebut akan melahirkan  sikap optimis, yakni bahwa tidak akan ada yang sia-sia dalam kehidupan manusia, karena semuanya akan dipertanggungjawabkan amal ibadah dan balasannya. Manusia tidak akan kecewa apabila di dunia ia tidak memperolah balasan dari amal perbuatannya, karena ia yakin di hari akhir ia akan memperoleh balasan apa yang ia perbuat di dunia ini. Apabila seorang muslim yakin akan hari akhir, maka ia akan terhindar dari sikap malas dan suka melamun, melainkan ia akan terus berproses dan mencari makna kehidupan.
6.      Pengaruh Iman Kepada Takdir
Beriman kepada takdir akan melahirkan sikap optimis, tidak mudah kecewa dan putus asa, sebab yang menimpanya ia yakini sebagai ketentuan yang telah Allah takdirkan kepadanya dan Allah akan memberikan yang terbaik kepada seorang muslim, sesuai dengan sifatnya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Oleh karena itu, jika kita tertimpa musibah maka ia akan bersabar, sebab buruk menurut kita belum tentu buruk menurut Allah, sebaliknya baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Karena itu dalam kaitan dengan takdir ini segogjayanya lahir sikap sabar dan tawakal yang dibuktikan dengan terus menerus berusaha sesuai dengan kemampuan untuk mencari takdir yang terbaik dari Allah.


B A B  I I I
P E N U T U P

A.  Kesimpulan
1.  Rukun Iman dapat diartikan sebagai pilar keyakinan, yakni pilar-pilar keyakinan seorang muslim, dalam hal ini terdapat enam pilar keyakinan atau rukun iman dalam ajaran Islam, yaitu:man kepada Allah, Iman kepada Malaikat-malaikat Allah, Iman kepada Kitab-kitab Allah, Iman kepada Rasul-rasul Allah, Iman kepada hari Kiamat, Iman kepada Qada danQadar.
Iman kepada Allah serta iman kepada sifat-sifatnya akan mempengaruhi perilaku seorang muslim, sebab keyakinan yang ada dalam dirinya akan dibuktikan pada dampak perilakunya. Jika seseorang telah beriman bahwa Allah itu ada, Maha Melihat dan Maha Mendengar, maka dalam perilakunya akan senantiasa berhati-hati dan waspada, ia tidak akan merasa sendirian, kendati tidak ada seorang manusiapun di sekitarnya.
2.  Keyakinan terhadap adanya malaikat akan berpengaruh terhadap perilaku manusia. Jika kita yakin ada malaikat yang mencatat semua amal baik dan buruk kita, maka seorang muslim akan senantiasa berhati-hati dalam setiap perbuatannya karena ia akan menyadari bahwa semua perilakunya tersebut akan dicatat oleh malaikat.
3.  Iman kepada kitab Allah bagi manusia dapat memberikan keyakinan yang kuat akan kebenaran jalan yang ditempuhnya, karena jalan yang harus ditempuh manusia telah diberitahukan Allah dalam kitab suci.
4.  Iman kepada rasul merupakan kebutuhan manusia, karena dengan adanya rasul maka manusia dapat melihat contoh-contoh perilaku dan teladan terbaik yang sesuai dengan apa yang diharapkan Allah.
5.  Beriman kepada hari akhir atau hari kiamat adalah keyakinan akan datangnya hari akhir sebagai ujung perjalanan umat manusia. Keimanan tersebut akan melahirkan  sikap optimis, yakni bahwa tidak akan ada yang sia-sia dalam kehidupan manusia, karena semuanya akan dipertanggungjawabkan amal ibadah dan balasannya.
6.  Beriman kepada takdir akan melahirkan sikap optimis, tidak mudah kecewa dan putus asa, sebab yang menimpanya ia yakini sebagai ketentuan yang telah Allah takdirkan kepadanya dan Allah akan memberikan yang terbaik kepada seorang muslim, sesuai dengan sifatnya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
B. Saran
               Keimanan seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya sehari-hari, oleha karena itu penulis menyarankan agar kita senantiasa meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT agar hidup kita senantiasa berhasil menurut pandangan Allah SWT. Juga keyakinan kita terhadap malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir senantiasa harus ditingkat demi meningkatkan amal ibadah kita.

D A F T A R  P U S T A K A
A. Ahyadi. 2009. Bahan Kuliah PAI. Sumedang: PG PAUD STKIP UNSAP


Muhammad Nur. 1987. Muhtarul Hadis. Surabaya: Pt. Bina Ilmu.


Miftah Faridl. 1995. Pokok-pokok Ajaran Islam. Bandung: Penerbit Pustaka


Syed Mahmudunnasir. 1994. Islam, Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Rosdakarya.


Toto Suryana, Dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Bandung: Tiga Mutiara

Back To Top