Emytos
PERINGATAN : Beberapa fitur mungkin tidak akan berfungsi karena template masih dalam perbaikan.

MAKALAH FIQH JINAYAH : JARIMAH HIRABAH


Gambar : Desained by +Ladlul Muksinin 



BAB I 

PENDAHULUAN 


A. Latar Belakang

Pada dasarnya, setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki fitrah yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Fitrah manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik. Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam kehidupannya akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya ingin cepat kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan dan lain-lainnya.

Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana. Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi hukum. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud memaparkan berbagai hal, khususnya mengenai perampokan dan jarimah-nya sebagai bahan perbandingan hukum dengan hukum lainnya.
Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menyimpulkan beberapa rumusan masalah di antaranya, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan Hirabah ?
2. Apa saja kualifikasi yang dapat dijatuhi Hadd ?
3. Apa saja ketentuan hukuman ?
4. Apa saja yang dapat menghapuskan hukuman Hadd ?



Lihat juga MAKALAH PES : LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Bagi yang ingin memiliki file asli makalah ini, silahkan klik download di bawah dan ijin di kolom komentar. Budayakan ijin agar bermanfaat.




BAB II 

PEMBAHASAN 



A. Pengertian Hirabah

Secara etimologis, kata hirabah merupakan bentuk masdar yang berasal dari kata kerja " حارب – يحارب – محاربة " yang berarti “ قاتله ”yakni memerangi karena di satu sisi, kelompok ini memerangi kelompok muslim lain, dan di sisi lainnya, memerangi ajaran Islam yang datang untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman bagi seluruh anggota masyarakat dengan cara menjamin hak-hak mereka. Kata hirabah diambil dari akar kata حرب (perang), atau dalam kalimat " فلانا حرب" yang bermakna “ماله سلب ” yaitu merampas hartanya

Hirabah juga disebut dengan qat’u at-tariq ataupun sirqah kubra, hal tersebut bukanlah arti hakikat melainkan dalam arti majas. Secara hakikat pencurian (sirqah) adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan qat’u at-tariq adalah pengambilan harta secara terang-terangan. Akan tetapi, dalam qat’u at-tariq terdapat bentuk sembunyi-sembunyi, yaitu dalam artian pelaku bersembunyi dari penguasa atau petugas keamanan. Oleh karena itu, sirqah tidak bisa dikatakan sebagai qat’u at-tariq kecuali bila diperjelas dengan ungkapan sirqah al-kubra bukan sirqah saja. Jika dinamakan pencurian saja, ungkapan tersebut tidak akan dipahami sebagai qat’u at-tariq dan adanya beberapa ketentuan ini adalah tanda-tanda majas.[1]

Hirabah adalah delik kejahatan terhadap harta benda atau nyawa, atau meneror dan menebar ancaman dengan cara yang sulit meski telah meminta bantuan pemerintahan dan lain sebagainya. Pengertian hirabah hampir sama dengan pengertian pembegalan (qath’u ath-tahriq), yaitu tindak merampas harta, membunuh, atau menakut-nakuti dengan paksaan dan mengandalkan kekuatan.[2]

Hirabah adalah keluarnya gerombolan bersenjata di daerah islam untuk mengadakan kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, mengoyak kehormatan, merusak tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban, dan undang-undang. Baik gerombolan tersebut dari orang islam sendiri maupun kafir dzimmi, atau kafir harbi.[3]

Penodong atau perampok adalah merampas atau mengambil harta milik orang lain dengan cara memaksa. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap tindak pidana yang dilakukan diluar rumah, jika perbuatan yang sama dilakukan oleh pelaku di dalam rumah atau gedung disebut dengan perampok.[4]

Orang yang melakukan hirabah (muharib) ialah setiap orang yang darahnya terpelihara sebelum melakukan hirabah, yaitu orang Muslim dan orang dzimmi.[5] Pembegal (qaththa’u ath-tahriq) sendiri adalah setiap orang muslim, murtad, atau kafir dzimmi, mempunyai tanggung jawab hukum, mukallaf (baligh serta berakal), inisiatif sendiri, mempunyai syaukah yakni kekuatan dan kekuasaan yang mampu mengalahkan orang lain dengan hal tersebut.[6]

Fuqaha berpendapat bahwa hirabah adalah mengangkat senjata dan mengganggu lalu lintas di luar kota. Kemudian ada perselisihan tentang hirabah yang di lakukan di dalam kota. [7]

1. Imam Malik berpendapat bahwa melakukan hirabah baik di dalam dan di luar kota adalah sama.

2. Menurut Imam Syafi’i, dalam hal ini beliau tidak mempersyaratkan adanya kekuatan (syaukah) untuk mengalahkan, meski tidak mempersyaratkan bilangan. Beliau juga berpendapat bahwa apabila segi keamanan suatu pemerintah lemah, dan terdapat pula faktor untuk mengalahkan di dalam kota, maka kondisi seperti itu sudah dapat dinamakan hirabah. Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak demikian disebut ikhtilas.

3. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hirabah tidak terdapat di dalam kota.




B. Kualifikasi Penjatuhan Hadd

Unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam, yaitu:

1. Unsur formal yaitu adanya nas (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.

2. Unsur material yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).

3. Unsur moral yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. [8]

Mengenai unsur khusus jarimah hirabah para fuqaha’ berbeda pendapat dengan yang lainnya. Menurut Imam Malik, perampokan dapat dilakukan baik di kota maupun di luar kota, tetapi Imam Abu Hanifah berkata bahwa bukan perampokan kalau dilakukan di dalam kota, karena ada pihak berwenang yang akan melindungi warganya. Fuqaha’ yang lain mengatakan sama saja halnya apakah ia dilakukan di dalam atau di luar kota, asalkan ia menggunakan kekerasan. Sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa bila pihak yang berwenang lemah, tak dapat menolong atau melindungi warganya, maka perampokan bersenjata mungkin saja terjadi di dalam kota.

Jarimah hirabah dapat terjadi dalam kasus-kasus:

1. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan intimidasi, namun tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh;

2. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kemudian mengambil harta tersebut tetapi tidak membunuh;

3. Seseorang pergi atau berangkat dengan niat merampok, kemudian membunuh tapi tidak mengambil harta korban;

4. Seseorang pergi untuk merampok kemudian mengambil harta dan membunuh pemiliknya.[9]

Maka setiap orang, baik laki-laki atau perempuan, sadar atau mabuk, dengan atau tanpa senjata tajam, dengan kekuatan sendiri yang meneror hingga mengancam keselamatan nyawa atau harta benda pengguna jalan di perkotaan atau di padang sahara, dia dianggap pembegal atau hirabah (kebanditan).

Hadd kebanditan (hirabah) tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku yang masih kanak-kanak, orang gila, orang yang dipaksa atau orang lemah yang tidak mempunyai kekuatan. Hanya saja dia harus ditakzir.[10]

Terkait dengan apakah perbuatan hirabah dapat ditetapkan, maka hal itu adalah dengan pengakuan (iqrar) dan kesaksian (bayyinah)[11]. [12]

1. Imam Malik menerima persaksian orang yang dirampas (hartanya) atas orang yang merampas.

2. Imam Syafi’i berpendapat bahwa kesaksian kawan serombongan diperbolehkan, jika mereka tidak mendakwakan harta yang mereka ambil, baik untuk dirinya sendiri maupun kawan-kawannya.



C. Hukuman

Hukum melakukannya adalah haram dan dosa besar. Dan hukuman bagi pelaku hirabah ini ditegaskan atau di dasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 33-34, yaitu:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (33) إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (34) 

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,(33) kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (34).”[13]

Imam Malik memahami huruf aw (أو) dari ayat di atas tersebut dalam arti pilihan (تخيير), yakni empat macam hukuman yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 33 tersebut, diserahkan kepada yang berwenang (hakim) untuk memilih mana yang paling sesuai dan adil dengan kejahatan pelaku.[14]

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat salah satu sebab (faktor) yang melatarbelakangi perbedaan pendapat antara jumhur fuqaha’ dan Imam Malik yaitu sebab yang berkaitan dengan kebahasaan, terutama berkaitan dengan nash yang lafaznya berbentuk musytarak, ‘am, mujmal, dan sebagainya, yaitu lafaz-lafaz yang memiliki makna beragam, terlalu umum, dan terlalu global, sehingga para fuqaha’ atau mufassir mengartikan lafaz musytarak memberikan batasan yang ‘am dan mujmal secara beragam pula, tergantung pada dasar yang digunakan.[15]

Untuk hukuman yang dijatuhkan atas muharib, para fuqaha telah sependapat bahwa hukuman tersebut berkaitan dengan hak Allah dan hak adami (manusia). Bahwa hak Allah tersebut adalah hukuman mati, hukuman salib, dipotong tangan dan kakinya dengan bertimbal balik, dan hukuman pengasingan, sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam ayat di atas.

Dalam penjatuhan hukuman-hukuman tersebut, para fuqaha berselisih pendapat, apakah didasarkan atas pilihan atau diurutkan berdasarkan besar kecilnya perbuatan.

1. Imam Malik berpendapat, apabila ia membunuh maka ia harus dibunuh pula. Keputusan penjatuhan hukuman adalah hukuman mati atau penyaliban. Apabila ia mengambil harta dan tidak membunuh, maka pilihan hukumannya pada penghukuman mati, penyaliban atau potong tangan dan kaki secara timbal balik. Dan jika hanya menakut-nakuti lalu lintas, penguasa boleh memilih antara menghukum mati, menyalib, memotong tangan dan kaki, atau membuangnya. Menurut Imam Malik, sanksi hirabah ini diserahkan kepada Imam[16] untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai dengan kemaslahatan.[17]

Jika muharib itu termasuk orang yang mempunyai kepandaian dan keahlian, maka tuntutan ijtihad adalah dibunuh atau disalib, karena jika memotong anggota badan tidak akan menghilangkan bahayanya. Hanya mempunyai kekuatan dan senjata, maka penguasa memotong tangan dan kakinya dengan bertimbal balik. Apabila ia tidak memiliki salah satu dari dua sifat tersebut, maka penguasa menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, yaitu pemukulan dan pengasingan.

2. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa hukuman-hukuman tersebut diurutkan berdasarkan kejahatan-kejahatan yang telah diketahui urutanya dalam syara’. Maka tidak dihukum mati kecuali orang yang membunuh, tidak dihukum potong tangan kecuali orang yang mengambil harta, dan tidak diasingkan kecuali orang yang tidak mengambil harta dan tidak membunuh.

3. Sementara golongan fuqaha lainnya berpendapat bahwa penguasa dapat/boleh memilih secara mutlak, baik muharib tersebut membunuh atau tidak, dan mengambil harta atau tidak.

Hukuman bagi sebagian anggota pembegal/hirabah bersenjata tajam yang hanya meneror pengguna jalan, tidak merampas harta benda dan tidak menghilangkan nyawa adalah ditakzir dan dipenjara. Dalam kemaksiatan semacam ini tidak ada hukuman yang wajib diberlakukan dan tidak ada kewajiban membayar kafarat.

Jenis takziran diserahkan kepada imam. Kebijakan semacam ini merupakan cara yang paling tepat untuk menetralisir tindak kejahatan. Sanksi hukum yang diterapkan terhadap pembegal atau perampok disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang mereka perbuat. Hadd pembegalan ada empat golongan, disesuaikan dengan keterangan ayat tentang hadd kebanditan.

1. Golongan pertama, apabila mereka hanya merampas harta benda kurang lebih sebanyak satu nisab seperti tindak pencurian dan tidak melakukan pembunuhan terhadap seseorang, maka tangan dan kaki mereka harus dipotong secara silang. Jika dia mengulangi kejahatan serupa, maka tangan kira dan kaki kanan yang dipotong sekaligus atau berturut-turut.

2. Golongan kedua, apabila mereka melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta benda, mereka harus dihukum mati. Karena mereka mencoba mengintegrasikan rasa takut menggunakan jalan yang menuntut hukuman lebih berat ke dalam kejahatan mereka.

3. Golongan ketiga, apabila mereka melakukan pembunuhan sekaligus merampas harta benda sebanyak satu nisab atau lebih, maka mereka harus dihukum mati kemudian disalib selama tiga hari agar kondisi semacam ini terpublikasi dan sempurnanya efek jera. Tujuan dari penyaliban setelah hukuman mati ialah untuk menanamkan efek jera.

4. Golongan keempat, apabila mereka hanya menakut-nakuti pengguna jalan, tidak merampas harta benda dan tidak melakukan pembunuhan, mereka cukup dipenjara dan ditakzir.



D. Yang Dapat Menghapus Hukuman

Hadd ada yang gugur karena pertaubatan sebelum perkaranya sampai kepada hakim, tetapi ada pula yang tidak dapat gugur.

1. Hadd yang Gugur karena Pertaubatan

Yaitu hukuman karena menyerang secara paksa atau membegal. Hal ini berdasarkan Nash Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perbuatan penyerangan secara paksa yaitu, “kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Maidah: 34). Ayat ini sangat jelas menggugurkan hukuman mereka yang menyerang secara paksa tanpa harus dihukum mati, disalib, dipotong tangannya, dan dipotong kakinya.

Ketika sebagian hukuman telah digugurkan maka semua hukuman itu menjadi gugur karena pertaubatan yang dilakukannya sebelum mampu menangkapnya.

2. Hadd yang Tidak Dapat Digugurkan karena Pertaubatan

Ialah tuntutan hadd lain yang diberlakukan secara khusus karena melanggar hak Allah SWT. Menurut pendapat yang azhar, hadd ini meliputi hadd tindak pidana perzinaan, pencurian, dan meminum khamr. Pernyataan ini menurut jumhur ulama kecuali pengikut Madzhab Hanbali. [18]



BAB III 

PENUTUP 


A. Kesimpulan

Hirabah adalah delik kejahatan terhadap harta benda atau nyawa, atau meneror dan menebar ancaman dengan cara yang sulit meski telah meminta bantuan pemerintahan dan lain sebagainya. Pengertian hirabah hampir sama dengan pengertian pembegalan (qath’u ath-tahriq), yaitu tindak merampas harta, membunuh, atau menakut-nakuti dengan paksaan dan mengandalkan kekuatan.

Mengenai unsur khusus jarimah hirabah para fuqaha’ berbeda pendapat dengan yang lainnya. Menurut Imam Malik, perampokan dapat dilakukan baik di kota maupun di luar kota, tetapi Imam Abu Hanifah berkata bahwa bukan perampokan kalau dilakukan di dalam kota, karena ada pihak berwenang yang akan melindungi warganya. Sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa bila pihak yang berwenang lemah, tak dapat menolong atau melindungi warganya, maka perampokan bersenjata mungkin saja terjadi di dalam kota.

Dalam penjatuhan hukuman-hukuman tersebut, para fuqaha berselisih pendapat, apakah didasarkan atas pilihan atau diurutkan berdasarkan besar kecilnya perbuatan. Imam Malik berpendapat, apabila ia membunuh maka ia harus dibunuh pula. Keputusan penjatuhan hukuman adalah hukuman mati atau penyaliban. Menurut Imam Malik, sanksi hirabah ini diserahkan kepada Imam untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai dengan kemaslahatan. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa hukuman-hukuman tersebut diurutkan berdasarkan kejahatan-kejahatan yang telah diketahui urutanya dalam syara’. Hadd ada yang gugur karena pertaubatan sebelum perkaranya sampai kepada hakim, tetapi ada pula yang tidak dapat gugur. (QS. Al-Maidah: 34). Ayat ini sangat jelas menggugurkan hukuman mereka yang menyerang secara paksa tanpa harus dihukum mati, disalib, dipotong tangannya, dan dipotong kakinya.





DAFTAR PUSTAKA 



Abdul Qadir Audah. 1992. At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami. Juz II. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Departemen Agama RI. 2012. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Jakarta: Al-Kahfi.

Ibnu Rusyd. 1990. Bidayatul Mujtahid. Semarang: Asy-Syifa’. cet. I.

M. Agus Salim. 2016. Studi Komparatif tentang Hukuman Jarimah Hirabah Menurut Jumhur Fuqoha’ dan Imam Malik. Skripsi Semarang: UIN Walisongo.

M. Quraish Shihab. 2001. Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, Jilid 3 , Ciputat: Lentera Hati.

Sayid Sabiq. 1984. Fikih Sunnah. Terj. Moh. Nabhan Husein. Bandung: PT ALMA’ARIF.

Topo Santoso. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Wahbah Zuhaili. 2010. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta Timur: Almahira. cet.I.

Zainudin Ali. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Cet. Ke-2.




Footnote :

[1] Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami, Juz II, Beirut: Muassasah al-Risalah,1992, hlm. 638
[2] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 322-324
[3] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Terj. Moh. Nabhan Husein, (Bandung: PT ALMA’ARIF, 1984), hlm. 175
[4] Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-2, hlm. 69
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 669
[6] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 322-324
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 669
[8] Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’u al-Jina’i al-Islami, Juz I, Beirut: Muassasah al-Risalah,1992, hlm. 110-111
[9] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. I, hlm. 30
[10] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 324
[11] Syarat-syaratnya baligh, berakal, kuat ingatannya, dapat berbicara (terjadi khilafiyah), dapat melihat (terjadi khilafiyyah), adil, Islam, dan tidak menghalangi persaksian.
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 675
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta: Al-Kahfi, 2012, h. 113
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, Jilid 3 , Ciputat: Lentera Hati, 2001, hlm. 80
[15] M. Agus Salim, Studi Komparatif tentang Hukuman Jarimah Hirabah Menurut Jumhur Fuqoha’ dan Imam Malik, Skripsi (Semarang: UIN Walisongo, 2016), hlm. 11
[16] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), cet. I, hlm. 670
[17] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. I, hlm. 30
[18] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), cet.I, hlm. 324-326
Labels: Fiqh Jinayah

Thanks for reading MAKALAH FIQH JINAYAH : JARIMAH HIRABAH. Please share...!

7 Comment for "MAKALAH FIQH JINAYAH : JARIMAH HIRABAH"

Back To Top