FIQIH
MAWARIS
Identitas Buku :
Judul Buku : Fiqih Mawaris
Penulis : Ahmad Sarwat
Penerbit : DU CENTER
Bab Pertama
Urgensi dan Pensyariatan
1. Mengapa Kita Belajar Hukum Waris
Untuk apa kita mempelajari hukum waris?
Bukankah sudah ada kiyai dan para ulama yang bisa menangani urusan waris?
Bukankah biasanya membagi waris menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama
(KUA)?
Barangkali pertanyaan seperti itu
muncul di benak kita ketika pertama kali melihat buku ini.
Pertanyaan seperti itu mungkin ada
benarnya. Sebab biasanya urusan pembagian waris memang menjadi urusan para
kiyai dan ulama, setidaknya menjadi 'job' pak KUA. Jadi buat apa kita yang
tidak punya urusan ini pakai sok belajar ilmu waris?
Pada bab pertama ini kita akan
mempelajari kenapa kita yang awam ini perlu dan harus belajar ilmu waris. Ada beberapa sebab dan
alasan yang melatarbelakangi hal itu. Antara lain :
1.1. Ilmu Waris Akan Dicabut
Sebagaimana kita sadari meski
bangsa Indonesia
ini mayoritas muslim, namun kita tahu bahwa agama kita diperangi lewat berbagai
macam bentuk penggerogotan dari dalam. Salah satunya adalah dijejalinya kita dengan
berbagai produk hukum yang bukan hukum Islam, seperti hukum barat dan hukum
adat, lewat berbagai kurikulum pendidikan yang kita dapat dari sistem
pendidikan nasional, atau dari adat istiadat turun temurun.
Maka lahirlah dari bangsa ini
berlapis generasi muslim yang rajin shalat 5 waktu, fasih membaca Al-Quran,
aktif mengaji kesana-kemari, gemar menghidupkan amaliyah sunnah, tetapi sama
sekali tidak paham alias merasa asing dengan hukum waris Islam.
Keterasingan mereka atas hukum
waris Islam ini merupakan kehancuran umat Islam yang sudah diprediksi oleh
Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu.
Rasulullah SAW secara khusus telah
memberikan perintah untuk mempelajari ilmu waris, sebab ilmu waris itu setengah
dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan
itu termasuk yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi.
عَنِ الأَعْرَجِ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ
العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
Dari A'raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah
SAW bersabda,"Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah.
Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama
kali akan dicabut dari umatku". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan
Al-Hakim)
1.2. Perintah Khusus Dari Nabi SAW
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r
تَعَلَّمُوا القُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ
النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ العِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الفِتَنُ
حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ فيِ الفَرِيْضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِي بِهَا
– رواه الحاكم
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada
orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang.
Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu
fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah
warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya". (HR.
Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)[1]
1.3. Sejajar Dengan Belajar
Al-Quran
Selain Rasulullah SAW memerintahkan
kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga
secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau
menyebutkan kita harus mempelajari ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran
Al-Kariem.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ t
أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ
كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ القُرْآنَ .
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu
beliau berkata, "Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari
Al-Quran". [2]
Perintah ini mengandung pesan bahwa
belajar ilmu waris ini sangat penting bagi umat Islam. Karena disejajarkan
dengan belajar Al-Quran.
1.4. Menghindari Perpecahan
Keluarga
Seringkali di antara penyebab
perpecahan keluarga adalah masalah harta waris. Dari banyak kasus yang terjadi,
umumnya berhulu dari kurang pahamnya para anggota keluarga atas aturan dan
ketentuan dalam hukum waris Islam.
Tidak dipelajarinya lagi ilmu waris
oleh generasi Islam ternyata punya dampak yang sangat besar. Salah satunya
adalah munculnya perpecahan keluarga. Lantaran ketika orang tua wafat,
anak-anak yang tidak mengenal ilmu waris itu saling berebut harta disebabkan
karena parameter yang mereka gunakan saling berbeda.
Sebagian anak ada yang ingin
menerapkan hukum waris versi adat. Yang lainnya mau versi barat. Sebagiannya
mau pakai hukum Islam.
Seandainya orang tua mereka telah
mengjaari dan mendidik mereka sejak kecil dengan ilmu waris Islam, niscaya
perpecahan keluarga tidak akan terjadi. Sebab selayaknya anak-anak muslim yang
tumbuh dengan pendidikan Islam, mereka pun dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama
yang mengajarkan bagaimana cara membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah
SWT.
Dari berbagai kasus perpecahan
keluarga tentang masalah waris, umumnya yang menjadi penyebab utama adalah
awamnya para anggota keluarga dari ilmu hukum waris Islam.
Jalan keluar untuk menghindari
perpecahan keluarga yang barangkali bukan terjadi hari ini adalah mempersiapkan
anak-anak kita, terutama generasi muda, dengan bekal ilmu hukum waris. Sehingga
sejak awal merea sudah punya pedoman buat bekal ketika dewasa nanti.
1.5. Ancaman Akhirat
Selain dua alasan di atas, memang Allah
SWT telah mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuk
dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan
ketentuan Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka.
Tidak hanya itu, tetapi dengan
tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka.
Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan.
Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan
di dalam Al-Quran Al-Kariem.
وَمَن يَعْصِ
اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ
يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ
عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.(QS. An-Nisa' : 13-14)
Di ayat ini Allah SWT telah
menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah
ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat
nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Tidak seperti pelaku dosa lainnya,
mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT
tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan
kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan
yang menghinakan.
Sungguh berat ancaman yang Allah
SWT telah tetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan sebagaimana
yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka
yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan sampai siksa
itu tertimpa kepada kita semua. Nauzu billahi min zalik.
2. Pensyariatan
Ketentuan
dan kewajiban membagi waris dalam syariah Islam ditetapkan berdasarkan
kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, serta ijma' para ulama.
2.1. Dalil Quran
Di
dalam Al-Quran ada banyak ayat yang secara detail menyebutkan tentang pembagian
waris menurut hukum Islam. Khusus di surat
An-Nisa' saja ada tiga ayat, yaitu ayat 11,12 dan 176. Selain itu juga ada di
dalam surat
Al-Anfal ayat terakhir, yaitu ayat 75.
a. Ayat
waris untuk anak
يُوصِيكُمُ
اللّهُ
فِي
أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ
ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً
فَلَهَا النِّصْفُ
Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' :
11)
b. Ayat
waris untuk orang tua
وَلأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ
فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ
اللّهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا
Dan
untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa' : 11)
c. Ayat
waris buat suami dan istri
.وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ
يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ
فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ
تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa'
: 12)
d. Ayat
waris Kalalah
Kalalah
adalah seorang wafat tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki atau perempuan.
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلاَلَةً أَو
امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ
وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ
غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun (QS. An-Nisa' :
12)
e. Ayat
waris Kalalah
Kalalah
lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan saudara
perempuan.
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ
أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa' : 176)
وَأُوْلُواْ
الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Orang-orang
yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal :
75)
2.2. Dalil Sunnah
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ
بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
Dari
Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam"Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ
زَيْدٍ t قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ
الكاَفِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ
Dari
Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seorang
muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat
warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah
kecuali An-Nasai)[3]
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عَمْرو t قَالَ قَالَ رَسُولُ الله r لاَ يَتَوَارَثُ أَهْلُ
مِلَّتَيْنِ شَتَّى
Dari
Abullah bin Amr radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ
الصَّامِتِ t قَالَ أنَّ النَّبِيَّ r قَضَى لِلْجَدَّتَيْنِ
مِنَ الِمْيراَثِ بِالسُّدُسِ بَيْنَهُمَا
Dari
Ubadah bin As-Shamith radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan
buat dua orang nenek yaitu 1/6 diantara mereka.(HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah)
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ
t قَضَى النَّبِيُّ
r لِلاِبْنَةِ النِّصْفُ
وَلاِبْنَةِ الاِبْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةً لِلثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلأُخْتِِ
Dari
Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi anak
tunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki
seperenam bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara
perempuan .(HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai)[4]
2.3. Dalil Ijma'
Bab Kedua
Pengertian
Waris
1. Definisi
1.1.
Bahasa
Al-miirats (الميراث) dalam
bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata (وَرِثَ يَرِثُ إِرْثًا وَمِيْرَاثًا) waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini
tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan
hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
وَوَرِثَ
سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud
..." (an-Naml: 16)
وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ
"... Dan Kami adalah yang mewarisinya."
(al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits
Nabi saw.:
العُلَمَاءُ
ْوَرَثَةُ الأَنْبِيَاءَ
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
1.2.
Pengertian syariah
Sedangkan makna al-miirats
menurut istilah yang dikenal para ulama ialah : berpindahnya hak kepemilikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara syar'i.
2. Waris, Hibah dan Wasiat
Tetapi
akan terasa lebih mudah kalau kita buatkan tabel seperti berikut ini.
WARIS
|
HIBAH
|
WASIAT
|
|
Waktu
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat
|
Setelah wafat
|
Penerima
|
Ahli waris
|
ahli waris &
bukan ahli waris
|
bukan ahli waris
|
Nilai
|
Sesuai faraidh
|
Bebas
|
Maksimal 1/3
|
Hukum
|
wajib
|
Sunnah
|
Sunnah
|
2.1. Waktu
Dari
segi wattu, harta waris tidak dibagi-bagi kepada para ahli warisnya, juga tidak
ditentukan berapa besar masing-masing bagian, kecuali setelah pemiliknya (muwarrits)
meninggal dunia. Dengan kata lain, pembagian waris dilakukan setelah pemilik
harta itu meninggal dunia. Maka yang membagi waris pastilah bukan yang memiliki
harta itu.
Sedangkan
hibah dan washiyat, justru penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Bedanya,
kalau hibah harta itu langsung diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai
pemiliknya meninggal dulu. Sedangkan washiyat ditentukan oleh pemilik harta
pada saat masih hidup namun perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia
meninggal dunia.
2.2. Penerima
Yang
berhak menerima waris hanyalah orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli
waris dan tidak terkena hijab hirman. Tentunya juga yang statusnya tidak gugur.
Sedangkan
washiyat justru diharamkan bila diberikan kepada ahli waris. Penerima washiyat
harus seorang yang bukan termasuk penerima harta waris. Karena ahli waris sudah
menerima harta lewat jalur pembagian waris, maka haram baginya menerima lewat
jalur washiat.
Sedangkan
pemberian harta lewat hibah, boleh diterima oleh ahli waris dan bukan ahli
waris. Hibah itu boleh diserahkan kepada siapa saja.
2.3. Nilai
Dari
segi nilai, harta yang dibagi waris sudah ada ketentuan besarannya, yaitu
sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu faraidh.
Sedangkan
besaran nilai harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya 1/3 dari nilai total
harta peninggalan. Walau pun itu merupakan pesan atau wasiat dari almarhum
sebagai pemilik harta, namun ada ketentuan dari Allah SWT untuk membela
kepentingan ahli waris, sehingga berwasiat lebih dari 1/3 harta merupakan hal
yang diharamkan.
Bahkan
apabila terlanjur diwasiatkan lebih dari 1/3, maka kelebihannya itu harus
dibatalkan.
2.4. Hukum
Pembagian waris itu hukumnya wajib dilakuan sepeninggal
muwarrits, karena merupakan salah satu kewajiban atas harta.
Sedangkan
memberikan washiyat hukumnya hanya sunnah. Demikian juga memberikan harta hibah
hukumnya sunnah.
3.
Istilah-istilah dalam ilmu waris
Setiap cabang ilmu memiliki
istilah-istilah yang khas, dimana istilah itu seringkali tidak sama dengan
istilah yang umum. Berikut ini kami uraikan beberapa istilah yang akan
seringkali muncul dalam mata kuliah ini.
3.1. Tarikah
Tarikah, (تركة) kadang dibaca tirkah, adalah segala
sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi,
pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan.
Termasuk di dalamnya bersangkutan
dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya
(seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan
kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar
yang belum diberikan kepada istrinya).
3.2. Fardh
Fardh (فرض) adalah bagian harta yang didapat oleh
seorang ahli waris yang telah ditetapkan langsung oleh nash Al-Quran, As-Sunnah
atau ijma' ulama. Fardh itu adalah bilangan pecahan berupa 1/2, 1/3. 1/4, 1/6,
1/8 dan 2/3. Harta yang dibagi waris itu adalah 1 lalu dipecah-pecah sesuai
bilangan fardh.
Misalnya seorang istri yang
ditinggal mati suaminya sudah dipastikan mendapat 1/8 bagian dari harta
suaminya, apabila suaminya punya keturunan. Atau mendapat 1/4 bagian bila
suaminya tidak punya keturunan.
3.3. Ashhabul Furudh.
Ashabul furudh (أصحاب الفروض) sesuai
dengan namanya, berarti adalah orang-orangnya, yaitu orang-orang yang mendapat
waris secara fardh. Mereka adalah ahli waris yang punya bagian yang pasti dari
warisan yang diterimanya. Contoh ashabul furudh adalah suami, istri, ibu, ayah
dan lainnya.
Besar harta yang diterimanya sudah
ditetapkan oleh nash, tapi tergantung keadaannya. Sebagai contoh, seorang istri
yang ditinggal mati suaminya sudah dipastikan besar harta yang akan
diterimanya, yaitu 1/4 atau 1/8. Seandainya suaminya punya anak, maka istri
mendapat 1/8 dari harta suami. Tapi kalau suami tidak punya anak, istri menapat
1/4 dari harta suami.
Begitu juga seorang suami yang
ditinggal mati istrinya, sudah dipastikan besar harta yang akan diterimanya,
yaitu 1/2 atau 1/4, tergantung keberadaan anak dari istri. Seandainya istri
punya anak, maka suami mendapat 1/4 dari harta istri. Tapi kalau istri tidak
punya anak, suami mendapat 1/2 dari harta istri.
Tapi intinya, ashabul furudh adalah
para ahli waris yang sudah punya bagian pecahan tertentu dari harta
muwarristnya.
3.4. Ashabah
Istilah ashabaha (عصبة) berposisi
sebagai lawan fardh, yaitu bagian harta yang diterima oleh ahli waris,
yang besarnya belum diketahui secara pasti. Karena harta itu hanyalah sisa dari
apa yang telah diambil sebelumnya oleh ahli waris yang menjadi ashhabul-furudh.
Besarnya bisa nol persen hingga
seratus persen. Tergantung seberapa banyak harta yang diambil oleh ahli waris
ashhabul furudh. Kalau jumlah mereka banyak, maka bagian untuk ashabah menjadi
kecil, kalau jumlah mereka sedikit, biasanya ashahabnya menjadi besar.
Misalnya, seorang anak laki-laki
tunggal adalah ahli waris ashabah dari ayahnya yang meninggal dunia. Ibunya
adalah ahli waris dari ashabul furudh, mendapat 1/8 dari harta suaminya.
Sedangkan anak tersebut mendapat waris sebagai ashabah, atau sisa dari apa yang
sudah diambil ibunya, yaitu 1 – 1/8 = 7/8.
3.5. Sahm
Sahm (سهم) adalah istilah untuk menyebut bagian harta
yang diberikan kepada setiap ahli waris yang berasal dari asal masalah. Atau
disebut juga jumlah kepala mereka.
Misalnya,
3.6. Nasab
Nasab (نسب) adalah hubungan seseorang secara darah,
baik hubungan ke atasnya seperti ayah kandung, kakek kandung dan seterusnya.
Hubugnan ke atas ini disebut abuwwah. Bisa juga hubungan seseorang ke
arah bawah (keturunannya) seperti dengan anak kandungnya, atau anak dari
anaknya (cucu) dan seterusnya. Hubngan ini disebut bunuwwah.
3.7. Al-Far'u
Istilah (الفرع) bila kita temukan di dalam ilmu waris,
maksudnya adalah anak laki-laki atau anak perempuan dari almarhum yang akan
dibagi hartanya. Termasuk juga anak dari anaknya (cucu) baik laki-laki maupun
perempuan. Bila disebut Al-far'ul-warists maksudnya adalah anak
laki-laki dan anak perempuan, atau ahli waris anak-anak tersebut ke bawahnya.
3.8. Al-Ashl
Yang dimaksud dengan istilah al-ashl
(الأصل) adalah
ayah kandung dan ibu kandung, juga termasuk ayah kandung atau ibu kandung dari
ayah kandung (kakek). Dan kakek atau nenek yang merupakan ayah dan ibunya ayah
ini disebut juga al-jaddu ash-shahih.
Bab Ketiga
Alokasi Harta
Bila ada seorang muslim meninggal
dunia dan meninggalkan sejumlah harta, tidak semua harta peninggalannya
langsung dibagi sebagai warisan. Ada
sejumlah pos pengeluaran yang harus ditunaikan terlebih dahulu. Tentu saja bila
pos-pos pengeluaran itu memang ada. Setelah itu, barulah sisanya dibagi menurut
hukum waris.
1. Menetapkan Kepemilikan Harta
Meski pun bagian ini nyaris tidak
kita temukan di kitab-kitab fiqih klasik, namun pada kenyataannya, terutama di
negeri kita, justru bagian ini paling rumit dari semua urusan pembagian
warisan. Pertama yang harus dilakukan adalah memilah dan memilih mana yang
merupakan harta almarhum dan mana yang harta milik orang lain, tetapi tercampur
di dalam harta almarhum.
Mengapa demikian?
Karena ketentuan dalam hukum waris
Islam, harta yang dibagi waris itu harus harta yang 100% dimiliki oleh almarhum
yang meninggal dunia. Padahal kenyataan yang sering terjadi harta yang ada itu
masih menjadi milik bersama, baik antara suami istri atau pun dengan pihak
lain.
a. Usaha Bersama Suami Istri
Sepasang suami istri sejak menikah
telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka toko. Keduanya mengeluarkan
harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Bisa
dikatakan harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua. Ketika keduanya
masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan, lantran kedua suami istri.
Tapi akan muncul masalah saat istri
meninggal dunia. Apalagi bila suami kawin lagi. Tentu di dalam harta berupa
usaha toko itu ada hak milik istri sebelumnya. Suami tentu tidak bisa menguasai
begitu saja peninggalan itu.
Boleh jadi akan muncul masalah dengan
anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang
kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.
Dalam hal ini, harus dirunut ke
belakang tentang status kepemilikan usaha keluarga itu. Berapakah besar yang
menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bagian istri, seharusnya ditetapkan
terlebih dahulu.
Kalau istri sebagai pemilik atau
pemegang saham, maka berapa besar saham istri harus ditetapkan secara jelas.
Dan kalau istri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara
jelas juga.
Maka hanya harta yang sudah
benar-benar 100% milik istri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami
tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.
b. Suami Memberi Hadiah Kepada
Istri
Sebuah keluarga pecah gara-gara
istri almarhum dan anak-anaknya diteror oleh adik-adik almarhum sendiri. Pasalnya,
menurut adik-adik almarhum, mereka berhak mendapat harta warisan berupa kolam
pemancingan dari peninggalan harta kakak mereka, lantaran sang kakak tidak
punya anak laki-laki. Dalam hal ini, kalau almarhum tidak punya anak laki-laki,
sisa warisan jatuh kepada ashabah yang tidak lain adalah adik-adik almarhum.
Tapi menurut istri almarhum yang kini
sudah menjanda, kolam pancing ikan yang diributkan itu pada dasarnya bukan asset
harta milik suaminya yang sudah almarhum. Karena semasa hidupnya, almarhum
telah menghadiahkan kolam pancing itu kepada dirinya sebagai hadiah ulang
tahun.
Hal itu terbukti dari surat tanah yang memang
atas nama istri. Maka harta itu tidak bisa dibagi waris, karena statusnya bukan
milik almarhum.
Maka seberapa benar pernyataan dari
masing-masing pihak, harus ditelusuri terlebih dahulu, baik dengan menghadirkan
saksi-saksi atau pun dengan surat-surat bukti kepemilikan. Barulah setelah
semua jelas, bagi waris bisa dilakukan.
c. Pinjam atau Beli
Ini kisah nyata. Seorang adik
pinjam uang kepada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak
sawah digadaikan kepada sang kakak.
Sayangnya sampai sekian puluh tahun
kemudian, uang pinjaman ini tidak dikembalikan. Otomatis sawah sebagai jaminan
pun juga masih di tangan sang kakak.
Ketika kedua kakak beradik ini
sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul
masalah tentang status sawah, karena para ahli waris meributkan statusnya. Anak
keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, karena
orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya
menjadikannya sebagai jaminan hutang.
Sedangkan anak keturunan sang kakak
mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang
belum pernah dikembalikan.
Anak keturunan si adik akhirnya
bersedia mengembalikan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya Rp. 30.000
saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja. Karuan saja keluarga
sang kakak meradang, karena apa artinya uang segitu di zaman sekarang ini.
Padahal di masa lalu, uang segitu senilai dengan biaya pergi haji ke tanah
suci. Mereka meminta setidaknya uang itu dikembalikan seharga biaya ONH
sekarang, yaitu sekitar 30-an juta.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus
di tengah masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih dahulu dalam
hal status kepemilikan harta almarhum.
2. Pengurusan Jenazah
Semua keperluan dan pembiayaan
pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak
boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala
sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di
antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan
sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui
dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari
jenis kelaminnya.
3. Hutang
Hendaklah utang piutang yang masih
ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya
hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang
piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut
berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan
nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit
perbedaan pandangan.
Al-Hanafiyah
Kalangan ulama mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya
sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.
Mereka beralasan bahwa menunaikan
hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika
seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu
ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin
dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun
kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia
tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan
kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT.
Pendapat mazhab ini tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli
waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli
waris untuk menunaikannya.
Jumhur Ulama
Jumhur ulama yang menyatakan bahwa
ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa
hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur
ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan
termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan
pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris
mewasiatkan ataupun tidak.
Asy-syafi'iyah
Menurut pandangan ulama mazhab
Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan
dengan hak sesama hamba.
Al-Malikiyah
Mazhab Maliki berpendapat bahwa hak
yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti
mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak
sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang
yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah.
Al-Hanabilah
Ulama mazhab Hambali menyamakan
antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib
ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan
kepada setiap ahli waris.
4. Washiyat
Wajib menunaikan seluruh wasiat
pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang
yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh
ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta
tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk
membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris
melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak
wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini
berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi
Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta
yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga,
dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli
warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
Setelah itu barulah seluruh harta
peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada :
·
ashhabul furudh
(ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri,
suami, dan lainnya),
·
kemudian kepada
para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris
--jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Pada ayat waris, wasiat memang
lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i,
persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian
melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu
mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar
melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang
seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang
piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan
ayat tersebut.
Bab
Keempat
Rukun, Syarat dan Sebab
Warisan
1. Rukun Waris
Untuk terjadinya sebuah pewarisan
harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari tiga rukun
ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah al-muwarrits,
al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya :
1.1.
Al-Muwarits
Al-Muwarrits (المُوَرِّث) sering
diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta warisan.
Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu hartanya
dibagi-bagi kepada para ahli waris.
Harta yang dibagi waris haruslah
milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara
bukanlah termasuk pewaris.
1.2.
Al-Warits
Al-Warits (الوَارِث) sering diterjemahkan sebagai ahli
waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta peninggalan, karena
adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
1.3.
Harta Warisan
Harta warits (المَوْرُوث) adalah benda
atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah, dan
sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak boleh
diwariskan.
Misalnya, harta bersama milik suami
istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu
untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta
yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak
dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.
2. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada
syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu
dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Syarat pewarisan ada tiga:
2.1.
Meninggalnya Muwarrits
a. Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki adalah ketika
ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa, dimana unsur
kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
b. Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum adalah
seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski jasadnya
tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang hilang di
dalam medan
perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum formal dinyatakan
kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan bahwa yang
bersangkutan telah telah meninggal dunia.
Bagi Waris Sebelum Meninggal
Padahal dalam hukum waris Islam, tidak
terjadi ahli waris mendapat harta warisan, manakala seorang muwarrits
belum lagi meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin membagi-bagi
warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya, pada saat dia
masih hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari masalah warisan
adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah meninggal dunia
terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang membagi-bagikan sendiri
harta warisan miliknya kepada keturunannya.
Bila hal tersebut dilakukannya,
maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian), bukan warisan. Dan hibah
itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun pada hakikatnya boleh
menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja dengan nilai berapa saja.
Tapi konsekuensinya, harta yang
sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah
menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi
pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila
kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi,
si anak berhak melalukan perubahan surat
kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah menghibahkan
sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak untuk mengubah
surat
kepemilikan tanah dan rumah itu begitu dia menerimanya. Dan konsekuensi lainnya,
berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya tanah dan rumah itu, dia pun
berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih ingin
memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir untuk
memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya kepada anaknya setelah
kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang ahli
waris seperti anak tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya
(pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli
waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya dua
kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya hibah.
Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika dibagi
secara warisan, aturan pembagiannya telah baku
sesuai dengan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal
ini sebagai pemilik harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan
untuk para ahli warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah
dia meninggal dunia.
2.2.
Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah hidup secara
hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang kedua, yaitu
orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara hakiki ketika
pewaris meninggal dunia.
Seorang anak yang telah meninggal
lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah
punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua
atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari
kakek.
Jalan keluar dari masalah ini ada
tiga kemungkinan. Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si
kakek berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan menantunya diberikan
bagian harta. Bukan dengan jalan warisan melainkan dengan cara washiat.
Kedua,
bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan
harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga,
dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian
hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat
membagi warisan, cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau lebih
dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau
dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu
meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka
miliki ketika masih hidup.
Hal seperti ini oleh kalangan
fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para
fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling
mewarisi.
2.3.
Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui secara
pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri, kerabat,
dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang
harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris
perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya
mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus
dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara
seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima
warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang
terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak
terhalang.
3. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
3.1.
Kerabat hakiki
Yaitu hubungan yang ada ikatan
nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak pernah
tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari ayahnya bila
sang ayah meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus dimana
seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga semua, lalu
menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan mendapatkan
anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan anak-anak si
kakek lainnya.
3.2.
Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah secara
legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau
tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan mahram,
yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan mertua,
menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi
penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka
seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya, kakak
ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya, meski
mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa
menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali dan
saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara suami
dan istri.
3.3.
Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena sebab
hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab
adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini
orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang
dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak
berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia.
Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Namun di zaman sekarang ini,
seiring dengan sudah tidak berlaku lagi sistem perbudakan di tengah peradaban
manusia, sebab yang terakhir ini nyaris tidak lagi terjadi.
Bab Kelima
Gugurnya Warisan
Bersama dengan kajian tentang siapa
saja yang berhak mendapat warisan, ada juga hal-hal yang membuat seseorang yang
seharusnya mendapat warisan, namun karena satu dan lain hal, haknya menjadi
gugur. Sehingga orang tersebut tidak jadi menerima warisan.
1. Hal-hal Yang Menggugurkan
Warisan
Hal-hal yang bisa menggugur hak
waris seseorang ada tiga:
1.1.
Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh
pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan
warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat
perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak
mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut
lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus
dijadikan sebagai kaidah:
من تعجل بشيء عوقب بحرمانه
Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan
sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya.
·
Mazhab Hanafi
menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua
jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
·
Mazhab Maliki
berpendapat bahwa hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang
dapat menggugurkan hak waris.
·
Mazhab Syafi'i
mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi
penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam
pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi
lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.
·
Mazhab Hambali
berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah
setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat,
atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
1.2.
Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi
ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang anak
tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya
dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam.
Dan siapapun yang seharusnya
termasuk ahli waris, tetapi kebetulan dia tidak beragama Islam, tidak berhak
mendapatkan harta warisan dari pewaris yang muslim. Hal ini telah ditegaskan
Rasulullah saw. dalam sabdanya:
لاً يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ
المُسْلِمَ "
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi
orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan
Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian,
termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Asy-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Namun sebagian ulama yang mengaku
bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang
muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang
kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-islam ya'lu walaayu'la 'alaihi
(unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan
satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah
keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat
kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya
orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama
terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat
mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan
Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti
telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah
menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya,
bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi,
seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan
kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta
peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim."
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Nampaknya pendapat ulama mazhab
Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta
warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal.
Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara
rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
1.3.
Budak
Seseorang yang berstatus sebagai
budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab
segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik
budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan
merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan
perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua
belah pihak).
Alhasil, semua jenis budak
merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka
tidak mempunyai hak milik.
2. Perbedaan Mahrum dan Mahjub
Seseorang yang tergolong ke dalam
salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti
membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum.
Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan
adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya.
Sebagai contoh, adanya kakek
bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara
kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian
warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan
pewaris, yaitu ayah.
Begitu juga halnya dengan saudara
seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris.
Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran
tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan
meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak
kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri
mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak
memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi
hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak
mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja
anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan
saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang
mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8,
menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak
mendapatkan warisan dikarenakan ter-mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih
dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
Bab Keenam
Penghalang Warisan
(Al-Hujub)
1. Definisi
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna
'penghalang'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
كَلاَّ
إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَّمَحْجُوبُونَ
Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada
hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka" (QS.
Al-Muthaffifin : 15)
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah
kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan mereka
di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga
kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu', disebabkan ia
menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna menemui para
penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek)
untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah mahjub.
Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain
untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang
mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut
kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris,
baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang
lebih berhak untuk menerimanya.
2. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni
al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang
lain).
Al-hujub bil
washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang
dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh
pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub bi
asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang
lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua:
hujub hirman dan hujub nuQShan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan
seluruh hak waris seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris
seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya
anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung,
terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan
hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian
yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya
mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan
(anak).
Demikian juga seperti penghalangan
bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat,
sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak,
dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di
sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata
lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan
tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuQShan.
3. Ahli Waris yang Tidak Terkena
Hujub Hirman
1.
Anak kandung
laki-laki
2.
Anak kandung
perempuan
3.
Ayah
4.
Ibu
5.
Suami
6.
Istri
Bila orang yang mati meninggalkan
salah satu atau bahkan keenamnya, maka mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab
tidak ada penghalang antara mereka dengan almarhum yang wafat.
4. Ahli Waris yang Dapat Terkena
Hujub Hirman
Bab Kedelapan
Ashabul Furudh & Ashabah
1. Ashhabul Furudh
Ashabul furudh
adalah para ahli waris yang nilai haknya telah ditetapkan secara langsung dan
mendapatkan harta waris terlebih dahulu, sebelum para ashabah.
Jumlah bagian yang telah ditentukan
Al-Qur'an ada enam macam, yaitu :
§
setengah (1/2)
§
seperempat (1/4)
§
seperdelapan
(1/8)
§
dua per tiga
(2/3)
§
sepertiga (1/3)
§
seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya
secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian
yang berhak ia terima.
2. Ashabah
Kata 'ashabab dalam bahasa Arab
berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan
mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi.
Dalam kalimat bahasa Arab banyak
digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga
di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman
Allah berikut:
قَالُواْ لَئِنْ
أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا
إِذًا لَّخَاسِرُونَ
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar
dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau
demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (QS. Yusuf: 14)
Maka jika dalam faraid kerabat
diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah
menurut istilah para fuqaha ialah : ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya
bagiannya dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki,
cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara
laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat
kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat
masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena
ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta
warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
2.1. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para
'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah :
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ
وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga"
(an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa
bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam
(1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai
anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan
bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga
(1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah.
Dari sini dapat kita pahami bahwa
sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan
demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah
:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهَا وَلَدٌ
Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak. (QS. An-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan
bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan
menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata
pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat
"wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan
menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah
adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r
أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ
فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
"Bagikanlah harta peninggalan
(warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang
paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah
Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih
tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari
'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits
ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut
"dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata
"rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan
cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai
'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian.
Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata
"dzakar".
2.3. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena
nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini
disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak)
dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak
tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah
terbagi tiga yaitu:
§ 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur
wanita),
§ 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain)
§ 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama
dengan yang lain).
3.1. 'Ashabah
bin nafs
'Ashabah
bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum
wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan
anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
2.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak
laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
3.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki
seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki
keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas
pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,
namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk
'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
4.
Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah,
termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs
tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih
kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
3.3.Hukum
'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah
bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai
urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris
seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang
ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh,
maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul
furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada
sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang
istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara
laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah
(1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak
mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
Bab Ketujuh
Para Ahli Waris
Salah satu kendala terbesar dalam
mengerti dan menghafal siapa saja ahli waris adalah tidak adanya diagram atau struktur
keluarga (family chart).
Apalagi ditambah dengan penyebutan
yang relatif antara satu ahli waris dengan yang lainnya. Seorang ahli waris
bisa saja dia menjadi 'ayah' bagi ahli waris lainnya. Tapi dalam waktu yang
sama, dia adalah 'anak' dari seseorang. Bahkan dia juga seorang 'kakek', atau
'paman', 'saudara', 'keponakan', 'cucu' bagi seseorang. Dan begitulah
seterusnya.
Relatifitas ini akan menyulitkan
kita dalam memahami duduk masalah. Maka dengan bantuan diagram struktur
keluarga ini, kita akan dimudahkan.
Selain itu istilah-istilah yang kita
gunakan dalam bahasa Indonesia
sering tidak baku .
Katakanlah sebagai contoh, akh li ab wa li um (أخ شقيق), sering kita terjemahkan menjadi saudara
kandung. Sebagian orang memahami istilah saudara kandung adalah saudara yang
sama-sama satu kandungan ibu, dimana ayah mereka bisa saja berbeda. Dan itu
adalah saudara seibu (أخ لأم).
Untuk itu diagram ini selain
berbahasa Indonesia ,
juga dilengkapi juga dengan istilah dalam bahasa Arab aslinya.
Diagram ini juga dilengkapi dengan
nomor ahli waris, yang sepenuhnya merupakan ijtihad penulis sendiri. Sekedar
untuk memastikan identitas seorang ahli waris, agar tidak tertukar-tukar
penyebutannya dengan ahli waris yang lain. Kira-kira seperti id number kalau
dalam sistem database.
Selain itu, diagram ini juga
dilengkapi dengan daftar orang-orang yang terhijab oleh seorang ahli waris.
Sehingga dengan mudah kita bisa memastikan siapa saja dari mereka yang terhijab,
cukup dengan sekali melihat bagan.
Terakhir, diagram ini juga
dilengkapi dengan bagian-bagian yang mungkin akan bisa diterima oleh seorang
ahli waris.
1. Anak Laki-laki (ابن)
Kita urutkan pada nomor satu dalam
daftar struktur keluarga adalah anak laki-laki. Mengingat kedudukan anak
laki-laki sangat berpengaruh kepada nasib ahli waris yang lain. Untuk seterusnya
agar memudahkan, kita tinggal menggunakan nomor urut satu sebagai id buat anak
laki-laki.
1.1.
Bagian
þ Asabah (sisa harta) dan mendapat 2 kali bagian anak
perempuan.
|
Seorang anak laki-laki mendapat
warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli
waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak pasti, tergantung
seberapa besar sisa yang ada.
Terkadang sisanya besar, terkadang
sisanya kecil. Bahkan bisa saja sisanya sama dengan seluruh harta, misalnya
karena almarhum tidak punya ahli waris lain selain anak laki-laki. Tetapi
seorang anak laki-laki tidak mungkin tidak kebagian harta waris.
Akan lebih tergambar kalau kita
masukkan ke dalam contoh-contoh yang nyata.
Contoh Pertama :
Seseorang meninggal dunia dengan
nilai total warisan sebesar 10 milyar, tanpa memiliki istri atau anak
perempuan. Ahli warisnya hanyalah seorang anak laki-laki tunggal satu-satunya.
Penyelesaiannya adalah anak
laki-laki satu-satunya itu mewarisi seluruh harta ayahnya, sebesar 10 milyar.
Karena anak laki-laki memang mendapat semua sisa harta, yang dalam hal ini
tidak ada satu pun ahli waris dari ashabul furudh yang masih hidup.
Ahli
Waris
|
Bagian
|
Nilai
|
Anak laki-laki
|
1/1
|
10
milyar
|
Contoh Kedua :
Seorang meninggal dunia dengan
harta sebesar 7 milyar, tanpa memiliki istri atau anak perempuan. Ahli warisnya
7 orang anak laki-laki semua.
Penyelesaian sederhana saja, harta
itu dibagi rata kepada lima
orang. Jadi masing-masing mendapat 1 milyar.
Ahli
Waris
|
Bagian
|
Nilai
|
Anak laki-laki 1
|
1/7
|
1
milyar
|
Anak laki-laki 2
|
1/7
|
1
milyar
|
Anak laki-laki 3
|
1/7
|
1
milyar
|
Anak laki-laki 4
|
1/7
|
1
milyar
|
Anak laki-laki 5
|
1/7
|
1
milyar
|
Anak laki-laki 6
|
1/7
|
1
milyar
|
Anak laki-laki 7
|
1/7
|
1
milyar
|
Contoh Ketiga :
Seorang laki-laki wafat dengan
harta 8 milyar, meninggalkan ahli waris seorang istri dan seorang anak
laki-laki.
Istri adalah ashabul furudh yang
jatahnya sudah ditetapkan, yaitu 1/8 atau 1 milyar. Sisanya adalah 7/8 bagian
atau 7 milyar, menjadi hak oleh anak laki-laki adalah 7/8. Hak anak
laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil terlebih dahulu oleh istri
almarhum.
Kalau kita jabarkan dalam bentuk
tabel, hasilnya sebagai berikut :
Ahli
Waris
|
Bagian
|
Nilai
|
Istri
|
1/8
|
1
milyar
|
Anak laki-laki (ashabah)
|
7/8
|
7
milyar
|
Contoh Keempat :
Harta almarhum sebesar 8 milyar,
pada saat wafat beliau memiliki seorang istri dan 7 orang anak laki-laki.
Bagaimana penyelesaiannya?
Istri mendapat 1/8 bagian. 7 orang
anak laki-laki adalah ashabah, mereka berhak atas sisanya. Dan sisanya yang 7/8
bagian itu dibagi rata kepada 7 orang anak laki-laki. 7/8 dibagi 7 adalah 1/8.
Kita perhatikan bahwa masing-masing
ahli waris sama-sama mendapat 1/8 dari 8 milyar, jadi masing-masing mendapat 1
milyar.
Ahli
Waris
|
Bagian
|
Nilai
|
|
Istri
|
1/8
|
1/8
|
1
milyar
|
Anak laki-laki 1
|
7/8
|
1/8
|
1
milyar
|
Anak laki-laki 2
|
1/8
|
1
milyar
|
|
Anak laki-laki 3
|
1/8
|
1
milyar
|
|
Anak laki-laki 4
|
1/8
|
1
milyar
|
|
Anak laki-laki 5
|
1/8
|
1
milyar
|
|
Anak laki-laki 6
|
1/8
|
1
milyar
|
|
Anak laki-laki 7
|
1/8
|
1
milyar
|
1.2.
Menghijab
Ahli
Waris
|
§
id
|
§ saudara
seayah-ibu
§ saudari
seayah-ibu
§ saudara
seayah
§ saudari
seayah
§ keponakan
: anak saudara seayah-ibu
§ keponakan
: anak saudara seayah
§ paman
: saudara ayah seayah-ibu
§ paman
: saudara ayah seayah
§ sepupu
: anak laki paman seayah-ibu
§ sepupu
: anak laki paman seayah
§ cucu :
anak laki dari anak laki
§ cucu :
anak wanita dari anak laki
§ saudara
& saudari seibu
|
§ 9
§ 10
§ 11
§ 12
§ 13
§ 14
§ 15
§ 16
§ 17
§ 18
§ 19
§ 20
§ 22
|
1.3.
Dihijab oleh :
Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa anak laki-laki tidak dihijab oleh siapa pun. Karena posisinya
yang langsung berhubungan dengan muwarrits.
* * *
2. Anak Perempuan (بنت)
Anak perempuan yang dimaksud adalah
anak perempuan dari muwarrits yang telah meninggal dunia. Kita letakkan pada
nomor urut dua, karena posisinya yang sangat dekat dengan muwarrits, serta
bersisian dengan anak lak-laki yang berada pada nomor urut satu.
2.1.
Bagian
þ 1/2 =
menjadi satu-satunya anak almarhum
þ 2/3 =
dua orang atau lebih dan almarhum tak ada anak laki
þ ashabah
= almarhum punya anak lak-laki dengan ketentuan bagiannya 1/2
dari bagian anak laki-laki
|
Anak perempuan bisa punya tiga
kemungkinan dalam menerima waris dari orang tuanya.
Pertama, dia mendapat
1/2 atau separuh dari semua harta warisan. Syaratnya, dia menjadi anak tunggal
dari muwarritsnya. Artinya, dia tidak punya saudara satu pun baik saudara
laki-laki atau pun saudara perempuan.
وَإِن كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Dan
apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separuh harta
warisan yang ada..(QS. An-Nisa : 11)
Kedua, dia mendapat
2/3 dari semua harta. Syaratnya, dia tidak sendirian. Dia punya saudara
perempuan sehingga minimal mereka berdua. Dan mereka semua akan mendapat jatah
total (bukan masing-masing) 2/3 bagian, selama semuanya perempuan dan tidak ada
saudara laki-laki satu pun.
فَإِن كُنَّ
نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا
تَرَكَ
Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..."
(QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, kalau dia
punya saudara laki-laki, dia bersama anak laki-laki akan mendapat ashabah atau
sisa. Harta sisa itu dibagi rata dengan semua saudara atau saudarinya dengan
ketentuan dia mendapat 1/2 dari jatah yang diterima saudara laki-lakinya.
يُوصِيكُمُ
اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Allah mensyariatkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa : 11)
2.2.
Menghijab
o cucu :
anak wanita dari anak laki
o saudara
& saudari seibu
|
20
22
|
2.3.
Dihijab Oleh :
Seorang anak perempuan tidak pernah
dihijab oleh siapa pun, karena tidak ada penghalang antara dirinya dengan
muwarritsnya, yaitu ayah kandungnya sendiri.
* * *
3. Istri (زوجة)
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka
dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya milik
suaminya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami
istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang
menjadi bagian istri, tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang
menjadi bagian suami.
3.1.
Bagian
Seorang istri punya dua kemungkinan dalam menerima bagian,
yaitu 1/4 atau 1/8 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila suami yang meninggal itu tidak punya fara'
waris[5],
maka hak istri adalah 1/4 bagian dari harta peninggalan almarhum suaminya.
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ
"Dan mereka mendapat 1/4 dari apa yang
kamu tinggalkan bila kamu tidak mempunyai anak (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau suami punya fara' waris, artinya
dia punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian istri adalah adalah
1/8 dari harta peninggalan suami.
فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ
بِهَا أَوْ دَيْنٍ
"... Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu
..." (QS. An-Nisa': 12)
3.2.
Menghijab
Kedudukan seorang istri tidak menghijab siapa pun dari
ahli waris suami. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi
tidak membuat seseorang menjadi kehilangan haknya.
3.3.
Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka
tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan
demikian, istri tidak dihijab oleh siapa pun.
* * *
4. Suami
Seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya,
maka dia menjadi ahli waris, berhak menerima sebagian harta yang sebelumnya
milik istrinya.
Sedangkan harta yang dimiliki bersama antara suami
istri, tidak dibagi waris begitu saja, namun dipisahkan terlebih dahulu. Yang
menjadi bagian suami, tentu tidak dibagi waris. Yang dibagi waris hanya yang
menjadi bagian istri.
4.1.
Bagian
Seorang suami punya dua kemungkinan bagian, yaitu 1/2
atau 1/4 sebagaimana disebutkan di dalam ayat 11 surat A-Nisa'.
Pertama, bila istri yang meninggal itu
tidak punya fara' waris, maka hak suami 1/2 bagian dari harta peninggalan
almarhumah istrinya.
وَلَكُمْ نِصْفُ
مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٌ
"... dan bagi kalian (para suami)
mendapat separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka
(para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 12)
Kedua, kalau istri punya fara' waris, artinya dia
punya keturunan yang mendapatkan warisan, maka bagian suami adalah adalah 1/4
dari harta peninggalan istri.
فَإِن كَانَ
لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْنَ
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya (QS.
An-Nisa': 12)
4.2.
Menghijab
Kedudukan seorang suami tidak menghijab siapa pun dari
ahli waris istri. Keberadaannya hanya sekedar mengurangi harta saja, tetapi
tidak membuat seseorang menjadi kehilangan haknya.
4.3.
Dihijab oleh
Karena hubungan langsung antara istri dan suami, maka
tidak ada seorang pun yang bisa menjadi penghalang antara mereka. Dengan
demikian, suami tidak dihijab oleh siapa pun.
* * *
5. Ayah
Seorang ayah yang ditinggal mati oleh anaknya, baik
anak itu laki-laki atau perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan
warisan. Tentu saja syaratnya adalah ayah masih hidup saat sang anak meninggal
dunia. Kalau ayah sudah meninggal dunia terlebih dahulu, tidak menjadi ahli
waris.
5.1.
Bagian
Seorang ayah punya tiga macam kemungkinan dalam
menerima hak warisnya.
þ 1/6 =
almarhum punya fara' waris laki-laki
þ 1/6 +
sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
þ Ashabah
= almarhum tidak punya fara' waris
|
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari
harta anaknya yang meninggal. Syaratnya, almarhum anaknya itu punya fara'
waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak
laki-laki.
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah
lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu anaknya
yang meninggal itu punya fara' waris perempuan[6] dan tidak punya
fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak ayah, karena dalam hal
ini ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama atau lebih dekat
kedudukannya kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris lainnya. Rasulullah
SAW bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r
أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ
فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
"Bagikanlah harta peninggalan
(warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang
paling utama. " (HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan
dan seorang ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian, sedangkan ayah
mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut :
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Harta yang telah diambil ayah dan anak perempuan itu
tentu masih bersisa. Siapakah yang berhak atas harta ini?
Jawabnya adalah ayah.
Mengapa?
Karena ayah dalam hal ini menjadi ahli waris yang
merupakan ashabah juga. Meski pun pada dasarnya ada lagi ahli waris lain yang
juga berhak menjadi ashabah, namun ayah telah menghijab mereka dan mengambil
hak asabah itu untuk dirinya, dengan dasar dalil di atas.
Ketiga, ayah mendapat seluruh harta
dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh mengambil bagiannya. Syaratnya,
almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki atau pun perempuan.
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ
وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya
mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Di ayat ini tidak tertera kalimat yang secara langsung
menyebutkan bahwa ayah mendapat sisanya. Hanya disebutkan bahwa ayah dan ibu
itu menerima warisan dari anak mereka bersama-sama. Dan yang menjadi bagian
buat ibu adalah 1/3. Logikanya, kalau bagian itu ibu sudah disebutkan maka
bagian ayah pasti diketahui, yaitu sisanya.
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang
istri dan seorang ayah. Maka istri adalah ahli waris dari kalangan ashabul
furud, jatahnya adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya fara' waris.
Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak ayah sebagai ashabah bi nafsihi.
5.2. Menghijab
Ayah termasuk orang yang cukup banyak menghijab ahli
waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada
12 ahli waris yang dihijab dan tidak mendapatkan harta warisan, karena
keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
o kakek
: ayahnya ayah
o Nenek
: ibunya ayah
o saudara
seayah-ibu
o saudari
seayah-ibu
o saudara
seayah
o saudari
seayah
o keponakan
: anak saudara seayah-ibu
o keponakan
: anak saudara seayah
o paman
: saudara ayah seayah-ibu
o paman
: saudara ayah seayah
o sepupu
: anak laki paman seayah-ibu
o sepupu
: anak laki paman seayah
|
o
7
o
8
o
9
o
10
o
11
o
12
o
13
o
14
o
15
o
16
o
17
o
18
|
5.3. Dihijab oleh
Seorang ayah tidak terhijab oleh siapa pun dari para
ahli waris yang lain. Karena hubungan ayah dengan anaknya yang menjadi muwarrits
adalah hubungan langsung.
* * *
6. Ibu
Ibu adalah orang yang juga dekat dengan anaknya yang
meninggal dunia. Bila saat meninggalnya, ibu masih ada, sudah dipastikan ibu
mendapat warisan.
6.1.
Bagian
Seorang ibu punya tiga macam kemungkinan dalam menerima
hak warisnya.
þ 1/6 =
almarhum punya fara' waris
þ 1/3 =
almarhum tidak punya fara' waris
þ 1/3
dari sisa = bila almarhum punya fara' waris (hanya dalam kasus umariyatain)
|
Pertama, ibu mendapat 1/6 dari harta
almarhum anaknya yang wafat, bila anaknya itu punya fara' waris.
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, seorang ibu mendapat 1/3 dari
harta peninggalan almarhum anaknya, bila anaknya tidak punya fara' waris.
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ
وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya
mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, ibu mendapatkan 1/3 dari sisa
harta yang sudah diambil oleh para ashabul furudh, namun haknya yang 1/3 tidak
berlaku.
Pembagian ini hanya terjadi bila seseorang wafat
dengan meninggalkan hanya 3 orang ahli waris, yaitu suami/istri, ayah dan ibu.
Kasus ini terjadi di zaman khalifah Umar bin al-Khattab dan dikenal dengan
istilah kasus Umariyatain.[7]
6.2.
Menghijab
Seorang ibu menghijab 2 orang ahli waris lainnya,
yaitu nenek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah. Atau dengan kata lain,
dia menghijab ibunya sendiri (21) dan ibu dari suaminya (8).
6.3.
Dihijab oleh
Seorang wanita yang ditinggal mati oleh anaknya, maka
posisinya tidak akan terhijab oleh siapa pun. Karena mereka punya hubungan
langsung tanpa diselingi oleh orang lain.
* * *
7. Kakek (أب
أب)
Yang dimaksud dengan kakek disini adalah ayahnya ayah.
Seorang kakek yang ditinggal mati oleh cucunya, baik cucu itu laki-laki atau
perempuan, termasuk orang yang berhak mendapatkan warisan.
Syaratnya adalah ayah anak itu sudah meninggal dunia
saat si cucu meninggal dunia. Kalau ayah anak itu masih hidup, maka kakek
(ayahnya ayah) terhijab, sehingga kita tidak bicara tentang warisan buat kakek.
Semua hitungan untuk warisan buat kakek, selalu dalam
kondisi bahwa ayah almarhum sudah meninggal terlebih dahulu.
7.1.
Bagian
Seorang kakek punya tiga macam kemungkinan dalam
menerima hak warisnya.
þ 1/6 =
almarhum punya fara' waris laki-laki
þ 1/6 +
sisa = almarhum punya fara' waris wanita, tidak punya fara' waris laki-laki
þ Ashabah
= almarhum tidak punya fara' waris
|
Pertama, dia menerima 1/6 bagian dari
harta anaknya yang meninggal. Syaratnya, almarhum cucunyanya itu punya fara'
waris laki-laki. Misalnya anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak
laki-laki.
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Kedua, dia menerima 1/6 dan ditambah
lagi dengan sisa harta yang ada. Hal itu terjadi manakala almarhum yaitu cucunya
yang meninggal itu punya fara' waris perempuan[8] dan tidak punya
fara' waris laki-laki.
Bahwa sisanya itu menjadi hak kakek, karena dalam hal
ini kakek sebagai gantinya ayah menjadi ahli waris laki-laki yang lebih utama
atau lebih dekat kedudukannya kepada almarhum dibandingkan dengan ahli waris
lainnya. Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ r
أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ
فَلأَِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
"Bagikanlah harta peninggalan
(warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang
paling utama. " (HR Bukhari)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan anak perempuan
dan seorang kakek, yaitu ayahnya ayah. Anak perempuan mendapat 1/2 bagian,
sedangkan ayahnya ayah mendapatkan 1/6 sebagaimana disebut dalam dalil berikut
:
وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ
Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak ..." (QS. An-Nisa': 11)
Ketiga, kakek sebagai ayahnya ayah
mendapat seluruh harta dengan cara ashabah, setelah ashabul furudh mengambil
bagiannya. Syaratnya, almarhum tidak punya fara' waris, baik laki-laki
atau pun perempuan.
فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ
وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ
الثُّلُثُ
Bila dia tidak punya anak, maka ayah ibunya
mewarisi hartanya dimana bagian ibu adalah sepertiga." (QS. An-Nisa': 11)
Contohnya, seseorang wafat meninggalkan hanya seorang
istri dan seorang kakek (ayahnya ayah). Maka istri adalah ahli waris dari
kalangan ashabul furud, jatahnya adalah 1/4 bagian, karena almarhum tidak punya
fara' waris. Sisanya yang 3/4 bagian menjadi hak kakek sebagai ganti dari ayah
yang sudah meninggal terlebih dahulu.
7.2. Menghijab
Kakek (ayahnya ayah) termasuk orang yang cukup banyak
menghijab ahli waris yang lain, selain anak laki-laki. Ada 10 ahli waris yang dihijab dan tidak
mendapatkan harta warisan, karena keberadaan ayah dari almarhum.
Mereka yang terhijab oleh ayah adalah :
o saudara
seayah-ibu
o saudari
seayah-ibu
o saudara
seayah
o saudari
seayah
o keponakan
: anak saudara seayah-ibu
o keponakan
: anak saudara seayah
o paman
: saudara ayah seayah-ibu
o paman
: saudara ayah seayah
o sepupu
: anak laki paman seayah-ibu
o sepupu
: anak laki paman seayah
o saudara/i
yang hanya seibu (rajih)
|
o
9
o
10
o
11
o
12
o
13
o
14
o
15
o
16
o
17
o
18
o
22
|
7.3. Dihijab oleh
Seorang kakek tidak terhijab oleh siapa pun dari para
ahli waris yang lain, kecuali oleh ayah, yang dalam hal ini tidak lain adalah
anaknya sendiri.
* * *
8. Nenek (أم
أب)
Yang dimaksud dengan nenek disini adalah ibu dari
ayahnya almarhum.
8.1.
Bagian
Dalam hal ini nenek hanya punya satu kemungkinan dalam
mendapat bagian warisnya, yaitu 1/6. Syaratnya, almarhum tidak punya ibu dan
ayah.
8.2.
Menghijab
Nenek tidak menghijab siapa pun
8.3.
Dihijab oleh
Nenek dihijab oleh 2 orang yaitu ayah.
o ayah
o ibu
|
o
5
o
6
|
* * *
9. Saudara seayah-ibu (أخ
شقيق)
Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa
saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan antara dirinya dengan almarhum adalah
bahwa mereka punya ayah dan ibu yang sama. Kita menghindari penggunaan istilah
saudara sekandung, karena konotasinya bisa keliru. Lebih pastinya kita gunakan
istilah saudara seayah dan seibu.
9.1.
Bagian
Saudara seayah seibu mendapat waris dari almarhum
dengan cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih
dahulu kepada ahli waris secara fardh. Dengan syarat, kedudukannya tidak
terhijab oleh orang-orang yang menghijabnya. Dalam hal ini almarhum tidak
meninggalkan anak, cucu, ayah atau kakek. Saat itulah saudara seayah seibu baru
mendapat jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya
: istri dan saudara laki-laki seayah seibu. Maka pembagiannya warisannya adalah
istri mendapat 1/4 dan saudara mendapatkan sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki juga punya saudara perempuan
yang sama-sama seayah dan seibu, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali
lipat lebih besar.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara
laki-laki dan saudara wanita. Maka pembagian warisannya adalah istri mendapat
1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara mendapatkan 2/4
dan saudarinya mendapat 1/4.
9.2.
Menghijab
o saudara
seayah
o saudari
seayah
o keponakan
: anak saudara seayah-ibu
o keponakan
: anak saudara seayah
o paman
: saudara ayah seayah-ibu
o paman
: saudara ayah seayah
o sepupu
: anak laki paman seayah-ibu
o sepupu
: anak laki paman seayah
|
o
11
o
12
o
13
o
14
o
15
o
16
o
17
o
18
|
9.3.
Dihijab Oleh :
o Anak
laki-laki
o Ayah
o Ayahnya
ayah (kakek)
o Cucu
laki-laki
|
o
1
o
5
o
7
o
19
|
* * *
10. Saudari seayah-ibu
Saudari seayah dan seibu juga termasuk yang mendapat
warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.
10.1.
Bagian
þ 1/2 = almarhum
tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) tidak punya
saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak
punya saudari seayah seibu (10)
þ 2/3 = almarhum
tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) tidak punya
saudara laki-laki seayah seibu (9) punya
saudari seayah seibu (10)
þ Ashabah
= almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) punya saudara laki-laki seayah seibu
(9)
|
Saudari
seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian
dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara
laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu. Maka saudarinya
itu mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian
dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak
punya anak, cucu, ayah, kakek, dan saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2
orang saudari perempuan seayah seibu. Maka kedua saudaranya itu total mendapat
2/3 dari semua harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi
2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara
ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak
punya anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang saudara laki-laki
seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat warisan secara ashabah, dengan
perbandingan bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan dirinya
mendapat 1/3 bagian.
* * *
11. Saudara seayah (أخ
لأب)
Saudara disini bisa saja lebih tua (kakak) atau bisa
saja lebih muda (adik). Yang penting, hubungan saudara ini dengan almarhum
bahwa mereka punya ayah yang sama tapi ibu mereka berbeda. Atau dalam bahasa
lebih sederhana, hubungan antara almarhum dengan dirinya adalah saudara tiri.
11.1.
Bagian
Saudara seayah mendapat waris dari almarhum dengan
cara ashabah, yaitu sisa harta waris yang sebelumnya dibagikan terlebih dahulu
kepada ahli waris secara fardh.
Dengan syarat, kedudukannya tidak terhijab oleh
orang-orang yang menghijabnya. Artinya, almarhum tidak meninggalkan anak, cucu,
ayah atau kakek, termasuk almarhum tidak punya saudara/i yang seayah dan seibu.
Saat itulah saudara seayah baru kebagian jatah warisan.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan ahli waris hanya
: istri dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya warisannya adalah istri
mendapat 1/4 dan saudara seayah mendapat sisanya, yaitu 3/4 bagian.
Apabila saudara laki-laki seayah itu juga punya
saudara perempuan yang juga seayah, maka bagian yang diterimanya harus 2 kali
lipat lebih besar dari saudari perempuannya itu.
Contoh, seseorang wafat meninggalkan istri, saudara
laki-laki dan saudara wanita seayah. Maka pembagian warisannya adalah istri
mendapat 1/4, sisanya yang 3/4 itu dibagi dua dengan saudarinya, saudara laki-laki
mendapatkan 2/4 dan saudari perempuannya mendapat 1/4.
11.2.
Menghijab
o keponakan
: anak saudara seayah-ibu
o keponakan
: anak saudara seayah
o paman
: saudara ayah seayah-ibu
o paman
: saudara ayah seayah
o sepupu
: anak laki paman seayah-ibu
o sepupu
: anak laki paman seayah
|
o
13
o
14
o
15
o
16
o
17
o
18
|
11.3.
Dihijab Oleh :
o Anak
laki-laki
o Ayah
o Ayahnya
ayah (kakek)
o Saudara
laki-laki seayah seibu
o Saudara
perempuan seayah seibu *
o Cucu
laki-laki
|
o
1
o
5
o
7
o
9
o
10
o
19
|
* * *
12. Saudari seayah (أخت
لأب)
Yang dimaksud dengan saudari perempuan seayah bahwa
dirinya punya ayah yang sama dengan almarhum, tapi ibu mereka berbeda. Dengan
mudah juga bisa kita sebut saudari perempuan tiri. Saudari tiri juga termasuk
yang mendapat warisan, asalkan posisinya tidak terhijab.
10.1.
Bagian
þ 1/2 =
almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) tidak punya
saudara laki-laki seayah seibu (9) tidak
punya saudari seayah seibu (10)
þ 2/3 = almarhum
tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) tidak punya
saudara laki-laki seayah seibu (9) punya
saudari seayah seibu (10)
þ Ashabah
= almarhum tidak
punya fara' waris (1-2-19-20) tidak punya ashlul waris
laki-laki (5-7) punya saudara laki-laki seayah seibu
(9)
|
Saudari
seayah seibu dengan almarhum bisa mendapatkan warisan dengan tiga kemungkinan.
Pertama, dia mendapat 1/2 bagian
dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak punya anak, cucu, ayah atau kakek,
saudara laki-laki. Yang dia punya hanya seorang saudari perempuan seayah seibu.
Maka dia mendapat 1/2 dari semua harta warisan almarhum saudaranya.
Kedua, dia mendapat 2/3 bagian
dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak
punya anak, cucu, ayah atau kakek, saudara laki-laki. Yang dia punya hanya 2
orang saudari perempuan seayah seibu. Maka kedua saudaranya itu total mendapat
2/3 dari semua harta warisan almarhum saudaranya. 2/3 bagian itu kemudian dibagi
2 lagi secara sama besar.
Ketiga, dia mendapat waris secara
ashabah dari seluruh harta milik almarhum.
Contoh
: seseorang wafat dalam keadaan tidak
punya anak, cucu, ayah atau kakek. Yang dia punya seorang saudara laki-laki
seayah seibu. Maka mereka berdua mendapat warisan secara ashabah, dengan perbandingan
bahwa saudara laki-lakinya itu mendapat 2/3 bagian dan dirinya mendapat 1/3
bagian.
13. Keponakan : anak saudara
seayah-ibu
14. Keponakan : anak saudara
seayah
15. Paman : saudara ayah
seayah-ibu
16. Paman : saudara ayah seayah
17. Sepupu : anak laki paman
seayah-ibu
18. Sepupu : anak laki paman
seayah
19. Cucu Laki-laki (ابن
ابن)
Cucu yang
dimaksud adalah anak laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu dari anak
perempuan tidak termasuk ahli waris. Keberadaan cucu ini baru berarti manakala
almarhum tidak punya anak laki-laki saat meningal dunia. Sebaliknya, bila
almarhum punya anak laki-laki, meski posisinya bukan ayah dari cucu, misalnya
sebagai paman, maka cucu tidak mendapatkan hak waris, karena terhijab olehnya.
19.1.
Bagian
Bagian yang
menjadi hak seorang cucu mirip yang diterima seorang anak laki-laki. Karena
kedudukannya memang sebagai pengganti anak laki-laki.
þ Asabah (sisa harta) bila ada ahli waris lain yang
telah mengambil bagian masing-masing, dengan ketentuan cucu laki-laki mendapat
2 kali bagian cucu perempuan.
|
Seorang cucu laki-laki mendapat
warisan dengan cara ashabah, yaitu sisa harta yang sebelumnya diambil oleh ahli
waris lain. Karena mendapat sisa, maka besarannya tidak pasti, tergantung
seberapa besar sisa yang ada.
Contoh yang sederhana adalah
seorang laki-laki wafat meninggalkan ahli waris : cucu laki-laki dan anak
perempuan. Maka hak cucu laki-laki adalah sisa harta yang telah diambil
terlebih dahulu oleh anak perempuan. Anak perempuan tunggal adalah ashabul
furudh yang jatahnya sudah ditetapkan.
Dalam hal ini anak perempuan
mendapat 1/2. Berarti sisanya adalah 1/2 bagian. Maka bagian yang didapat oleh
cucu laki-laki adalah 7/8.
Apabila almarhum juga meninggalkan
cucu perempuan, maka dia juga mendapat sisa sebagaimana halnya cucu laki-laki,
yaitu jumlah sisa itu dibagi rata di antara para cucu, dengan ketentuan bahwa
cucu perempuan hanya mendapat setengah dari apa yang didapat cucu laki-laki.
Atau dengan kata lain, yang diterima cucu laki-laki 2 kali lipat lebih besar dari
anak perempuan.
Maka pembagiannya sebagai berikut :
Ahli Waris
|
Bagian
|
|
Anak Perempuan
|
1/2
|
3/6
|
Cucu Laki-laki
|
Sisa = 1/2
|
2/6
|
Cucu Perempuan
|
1/6
|
19.2.
Menghijab
Ahli
Waris
|
§
id
|
§ saudara
seayah-ibu
§ saudari
seayah-ibu
§ saudara
seayah
§ saudari
seayah
§ keponakan
: anak saudara seayah-ibu
§ keponakan
: anak saudara seayah
§ paman
: saudara ayah seayah-ibu
§ paman
: saudara ayah seayah
§ sepupu
: anak laki paman seayah-ibu
§ sepupu
: anak laki paman seayah
§ saudara
& saudari seibu
|
§ 9
§ 10
§ 11
§ 12
§ 13
§ 14
§ 15
§ 16
§ 17
§ 18
§ 22
|
19.3.
Dihijab oleh :
Satu-satunya pihak yang dapat
menghijab cucu laki-laki adalah anak laki-laki (1). Dalam kenyataannya, bisa
saja cucu laki-laki merupakan anak dari anak laki-laki, tapi bisa juga bukan
anak tetapi keponakan. Tapi intinya, selama almarhum masih punya anak
laki-laki, cucu laki-laki akan terhijab.
* * *
20. Cucu Perempuan
21. Nenek Dari Ibu
22. Saudara/i Seibu
Bab Kesebelas
Cara Membagi Warisan
1. Langkah Pertama
Langkah paling awal adalah
mengeluarkan terlebih dahulu segala hal yang tekait dari harta almarhum yang
meninggal. Diantaranya :
1.1. Hutang
Semua hutang almarhum/almarhumah
harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta yang dimilikinya. Kecuali bila
orang yang memberi hutang itu menyatakan kerelaannya atas hutang-hutang itu.
1.2.
Wasiat
Bila almarhum/almarhumah pernah
berwasiat atas harta yang dimilikinya, maka sebelum warisan dibagikan, wasiat
itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan syarat jumlahnya tidak boleh
melebihi dari 1/3 dari total hartanya. Bila telah melebihi, maka hukumnya tidak
boleh karena yang 2/3 itu adalah milik ahli waris.
1.3.
Biaya Pengurusan Jenazah
Semua biaya untuk pengurusan
jenazah, bahkan mulai dari biaya rumah sakit bila ada, hingga biaya memandikan,
mengkafani, menguburkan dan lainnya, bisa diambilkan dari harta
almarhum/almarhumah.
Dari langkah ini akan segera bisa
didapat nilai nominal harta almarhum/almarhumah. Tentu harta itu bukan hanya
uang, tetapi bisa berbentuk rumah, tanah, kendaraan atau apapun.
Namun untuk memudahkan
penghitungan, biasanya dilakukan penaksiran atas semua asset beliau dalam
besaran nominal. Meski benda-benda itu tidak harus langsung dijual kepada pihak
lain.
2. Langkah Kedua
Langkah kedua adalah mengumpulkan
semua daftar ahli waris dan memilahnya. Pengumpulan daftar ahli waris ini untuk
memisahkan siapa saja yang berhak atas warisan dan siapa saja yang tidak
mendapat hak. Paling tidak ada dua pemilahan.
2.1.
Memilah
Pada langkah ini tugas kita
berikutnya adalah memilah antara ahli waris yang sesungguhnya dengan yang bukan
ahli waris. Boleh jadi dalam persangkaan orang, ada individu yang dianggap
sebagai keluarga dan seolah dia mendapat warisan, tetapi ternyata secara daftar
awal pun sudah bukan termasuk ahli waris.
Misalnya, anak tiri, ayah diri,
mantan istri, mantan suami, anak angkat, ayah atau ibu angkat dan lainnya,
mereka semua sesungguhnya tidak pernah terdaftar sebagai ahli waris.
Anak tiri meski sudah diperlakukan
sebagai anak sendiri, tapi secara hukum syariah tidak pernah mendapatkan harta
lewat warisan. Namun bila lewat jalan lain masih dimungkginkan. Misalnya lewat
hibah dari almarhum sebelum wafat, atau lewat wasiat. Demikian juga istri yang
sudah dicerai suami dan telah habis masa iddahnya, bila sang suami wafat, maka
mantan istri itu sudah bukan lagi ahli waris.
Contoh :
Seseorang wafat meninggalkan
seorang mantan istri yang telah diceraikan sebulan yang lalu, seorang istri
yang masih sah dan seorang istri yang telah diceraikannya secara 2 tahun lalu.
Siapakah diantara mereka yang dapat warisan ?
Jawaban :
Yang mendapat warisan adalah istri
yang telah diceraikan sebulan yang lalu dan istri yang masih sah. Sedangkan
istri yang telah diceraikan 2 tahun sebelumnya, tidak mendapat warisan. Karena
hubungannya dengan mantan istri itu sudah bukan istri lagi. Sedangkan yang baru
diceraikan 1 bulan yang lalu mendapatkan warisan, lantaran masa iddahnya belum
berakhir. Sebagaimana diketahui bahwa masa iddah seorang wanita yang diceraikan
suaminya adalah 3 kali masa suci dari haidh.
2.2.
Menghilangkan ahli waris yang terhijab
Meski seseorang termasuk daftar
ahli waris, namun belum tentu dalam sebuah pembagian warisan dia pasti mendapat
warisan. Sebab bisa jadi hubungannya dengan almarhum/almarhumah terhijab.
Sehingga dia tidak boleh menerima warisan akibat adanya hijab.
Prinsipnya, bila hubungan
seorang ahli waris dengan almarhum masih melewati ahli waris lainnya, maka bila
ahli waris yang yang ada diantara keduanya masih ada, maka ahli waris yang
berada pada lapis keduanya tidak akan mendapat warisan.
Kenyataannya, hanya ada 6 orang
yang tidak mungkin terhalangi, bahkan untuk memudahkan mengingatnya, kita susun
saja menjadi anak, orang tua dan pasangan. Dengan rincian yaitu :
·
anak baik laki
atau perempuan
·
orang tua yaitu
ayah dan ibu
·
pasangan yaitu
suami atau istri
Selain keenam orang di atas,
mungkin terhalang dan mungkin tidak.
Contoh 1 : Seorang
wafat dengan meninggalkan ayah kandung dan paman yang merupakan saudara ayah.
Hubungan almarhum dengan pamannya diselingi dengan adanya ayah, maka paman
tidak mendapat warisan bila ayah masih ada. Namun bila ayah tidak ada,
paman mendapatkan warisan. Posisi paman dalam hal ini sama dengan
posisi kakek, seandainya ayah tidak ada sedangkan kakek masih ada, maka kakek
mendapatkan warisan dari cucunya.
Contoh 2 : Saudara
kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah dan keturunan laki-laki
(anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Contoh 3 : Saudara
laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga
terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan
terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya).
Contoh 4 : Saudara
laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan
seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak
laki-laki maupun anak perempuan.
Hasil atas langkah kedua ini adalah
daftar orang-orang yang pasti mendapat warisan, baik sebagai ashabul furudh
ataupun sebagai ashahabah.
Contoh
Seseorang wafat dan meninggalkan
ayah, ibu, paman, kakek, bibi, saudara laki-laki, saudara perempuan dan
anak laki-laki. Siapa diantara mereka yang mendapat warisan dan siapakah yang
terhijab?
Jawab :
Pada awalnya semua memang termasuk
ahli waris, namun ada beberapa mereka yang termahjub karena keberadaan ahli
waris lainnya. Yang memahjub anak laki-laki yang menghijab paman,
keponakan, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Kakek terhijab oleh adanya
ayah. Sehingga yang menerima warisan hanyalah anak laki-laki, ayah, ibu saja.
3. Langkah Ketiga
Langkah ketiga adalah menentukan pokok
masalah. Persoalan pokok masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal
dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah.
Untuk apa kita mengetahui pokok
masalah? Apa gunanya? Apa tujuannya?
Sebenarnya urusan ini hanya sekedar
untuk menemukan nilai yang didapat oleh para ahli waris. Hal itu disebabkan
Al-Quran dan As-sunnah menyebutkan bilangan pecahan untuk menetapkan bagian
yang didapat oleh para ahli waris. Bilangan pecahan itu adalah setengah (1/2),
sepertiga (1/3), seperempat (1/4), seperenam (1/6), seperdelapan (1/8) dan
duapertiga (2/3).
Seandainya dalil-dalil itu
menggunakan besaran prosentase, mungkin kita tidak perlu bicara tentang ashlul-masalah
ini. Misalnya dalam kasus seorang laki-laki wafaat meninggalkan seorang seorang
istri dan ayah. Isstri mendapat bagian 1/8 dan ayah 1/6, maka agak sulit buat
kita untuk menghitung langsung 1/8 + 1/6.
Tapi kalau angka 1/8 dan 1/6 itu
disebutkan dengan besaran prosentase, maka lebih mudah untuk menjumlahkannya.
1/8 sebenarnya sama dengan 12,5 % dan 1/6 sama dengan 16,66 %. Jadi jumlah
keduanya adalah 12,5% + 16,66 % = 29,16 %.
Sedangkan menjumlahkan 1/8 dengan
1/6, perlu sedikit teknik untuk mendapatkan hasilnya. Dengan metode hitungan sederana
sebenarnya mudah saja bagi kita untuk menjumlahkan beberapa bilangan pecahan,
dimana "penyebutnya " tidak sama. Dalam bilangan pecahan kita
mengenal dua istilah, yaitu pembilang dan penyebut. Dimana kedua bilangan itu
ditulis dengan dipisahkan menggunakan garis miring. Pembilang adalah angka
sebelum garis miring dan penyebut dalam bilangan setelah garis miring.
Contoh, bilangan setengah itu
ditulis [1/2], maka bilangan 1 adalah pembilang dan bilangan 2 adalah penyebut.
Demikian juga dengan [2/3], maka bilangan 2 adalah pembilang dan bilangan 3
adalah penyebut.
Secara sederhana, kita bisa
menjumlahkan bilangan pecahan dengan cara menjumlahkan pembilangnya saja tanpa
menjumlahkan penyebutnya, asalkan penyebutnya sama. Misalnya 1/2 + 1/2 = 2/2.
Atau 2/4 + 1/4 + 1/4 = 4/4.
Namun akan sedikit bermasalah
ketika kita harus menjumlahkan beberapa bilangan pecahan yang berbeda
penyebutnya. Misalnya, 1/8 + 1/6. Berapakah jumlahnya ?.
Untuk menjumlahkannya, kita
terpaksa harus menyamakan dulu penyebutnya. Caranya dengan mengganti
masing-masing penyebut dengan sebuah bilangan terkecil yang habis dibagi oleh
masing-masing penyebut. Kalau kita pilih bilangan 16, memang 16 itu bisa habis
dibagi 8, tapi tidak bisa dibagi 6, jadi angka 16 tidak cocok.
Demikian juga bila kita pilih
bilangan 12, memang 12 itu bisa habis dibagi 6, tapi tidak bisa dibagi 8.
Pilihannya adalah 24, sebab 24 itu bisa habis dibagi 8 dan 6. Jadi kita sama
dulu penyebut masing-masing menjadi angka 12. Lalu pembilangnya kita sesuaikan
agar nilainya tetap sama.
Caranya dengan mengalikan pembilang
dengan hasil bagi penyebut yang telah disamakan dengan penyebut asalnya. Lalu
masing-masing pembilang yang telah disesuaikan dijumlahkan, sedangkan
penyebutnya tidak perlu dijumlahkan.
§ Maka bilangan 1/8 itu kita ubah penyebutnya
menjadi 24. Lalu kita membagi 24 dengan 8, hasilnya adalah 3. Lalu kita kalikan
3 dengan pembilangnya yaitu 1. Hasilnya adalah 3. Maka 1/8 sama dengan 3/24.
§ Bilangan 1/6 itu kita ubah penyebutnya menjadi 24
juga. Lalu kita membagi 24 dengan 6, hasilnya adalah 4. Lalu kita kalikan 4
dengan pembilangnya yaitu 1. Hasilnya adalah 4. Maka 1/6 sama dengan 4/24.
Jadi hasil akhir penjumlahan itu
adalah 3/24 + 4/24 = 7/24. Kalau kita perhatikan, sebenarnya 7/24 ini sama
besarnya dengan 29,16 %.
Metode
Yang Digunakan Dalam Kitab Klasik
Tapi yang berkembang di masa lalu
bukan dengan prosentase, juga bukan dengan penyamaan pembilang dan penyebut,
melainkan dengan metode pencarian ashlul-masalah. Dalam hal ini, yang
perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap
ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu
faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya
tanpa menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah,
terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita
harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah,
atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan
ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada
semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika
semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima . Atau seseorang wafat
meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari
sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada
terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung
dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah
qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok
masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya
meninggalkan lima
orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti
tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki,
maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris
yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok
masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan
saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian
suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2).
Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya
masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam
(6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3).
Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya
dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang
ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis,
misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita harus
mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara :
·
angka-angka yang
mutamatsilah (sama)
·
angka-angka yang
mutadaakhilah (saling berpadu)
·
angka-angka yang
mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini,
baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid.
Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah
ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian
berbeda-beda.
Pertama:
bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3),
sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya
terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok
masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan,
ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok
masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu
keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat
(1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan--
maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan
ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6)
atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam
(6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini
hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu
keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4,
dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain
untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di
bawah ini:
1.
Apabila dalam
suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok
masalahnya dari enam (6).
2.
Apabila dalam
suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok
masalahnya dari dua belas (12).
3.
Apabila
dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok
pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka
pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah
tersebut, mari kita buat beberapa contoh.
Contoh
: Kasus Pertama
Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka
pembagiannya sebagai berikut:
·
suami mendapat
setengah (1/2)
·
saudara
laki-laki seibu seperenam (1/6)
·
ibu sepertiga
(1/3)
sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat
sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak
tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada
campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan
seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada,
pokok masalah pada contoh tersebut adalah enam (6).
Lihat
diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2)
|
3/6
|
3
|
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
|
1/6
|
1
|
Ibu sepertiga (1/3)
|
2/6
|
2
|
Paman kandung, sebagai 'ashabah
|
0
|
Dalam contoh ini, kebetulan harta
habis dibagi untuk semua ashhabul furudh tanpa sisa, dengan demikian maka paman
tidak mendapat apa-apa alias nol, lantaran statusnya hanya sebagai ahli waris
ashabah. Namun dalam seandainya salah satu dari ashhabul furudh di atas tidak
ada, misalnya tidak ada saudara laki-laki yang jatahnya (1/6), maka sisa itu
menjadi milik paman sebagai ashabah.
Contoh
: Kasus Kedua
Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki
kandung. Maka pembagiannya seperti berikut:
§ bagian istri seperempat (1/4)
·
ibu seperenam
(1/6)
·
dua saudara
laki-laki seibu sepertiga (1/3)
·
dan saudara
kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada
campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama--
dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok
masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara
empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara
laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4))
|
3/12
|
3
|
Ibu seperenam (1/6)
|
2/12
|
2
|
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
|
4/12
|
4
|
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)
|
3/12
|
3
|
Dalam contoh kasus kali ini, saudara kandung laki-laki sebagai ashabah beruntung, karena masih ada sisa dari para ashhabul furudh, sehingga dia mendapatkan sisanya yang masih lumayan besar, yaitu 3/12 dari total harta atau 1/4 bagian atau 25% dari seluruh harta yang dibagi waris.
Contoh
: Kasus Ketiga
Seseorang kakek wafat dan
meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut:
·
istri mendapat
seperdelapan (1/8)
·
anak perempuan
setengah (1/2)
·
cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per
tiga (2/3)
·
bagian ibu
seperenam (1/6)
·
Sedangkan
saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta
waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada
percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam
(1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah
pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8)
|
3/24
|
3
|
Bagian anak perempuan setengah (1/2)
|
12/24
|
12
|
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
|
4/24
|
4
|
Bagian ibu seperenam (1/6)
|
4/24
|
4
|
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)
|
1/24
|
1
|
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.
Penutup
[5] Diantara fara'
waris antara lain : anak laki-laki, anak perempuan, juga anak laki-laki atau
anak perempuan dari anak laki-laki (cucu). Sedangkan anak laki atau anak
perempuan dari anak perempuan, meski termasuk cucu juga, namun kedudukannya
bukan termasuk fara' waris, karena cucu dari anak perempuan tidak termasuk
dalam daftar ahli waris penerima warisan.
[6] Fara' waris
perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara'
waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
[7] Istilah
kasus Umariyatain adalah dua kasus yang ditetapkan oleh Umar bin al-Khattab radhiyallahuanhu.
Kasus pertama melibatkan 3 orang ahli waris, yaitu suami, ayah dan ibu. Kasus
kedua melibatkan 3 orang juga yaitu istri, ayah dan ibu.
Dalam
hal ini ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah pada
kata : وورثه أبواه.
Menurut
Khalifah Umar dan kebanyakan para shahabat nabi serta didukung oleh jumhur
ulama, kata itu punya makna bahwa ayah dan ibu menerima warisan dari sisa
warisan yang diambil oleh suami atau istri secara fardh. Ayah dan ibu tidak
menerima waris secara fardh (1/3) dari asal harta.
Sebaliknya,
menurut Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, ibu mendapat 1/3 dari asal harta
sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Sisanya, menjadi hak ayah. Dalam
pandangan Khalifah Umar, kalau demikian, tidak ada arti kata tersebut.
Maka
dalam kasus ini, suami yang ditinggal
mati istrinya tanpa fara' waris mendapat 1/2 harta. Sisanya, yaitu 1/2 menjadi
hak ayah dan ibu berdua secara ashabah, dengan ketentuan ibu mendapat 1/3 dari
jatah mereka berdua dan ayah mendapat sisanya yaitu 2/3.
Kasus Perama
Ahli Waris
|
Bagian
|
|
Istri
|
1/4
|
1/4
|
Ibu
|
3/4
|
1/4
|
Ayah
|
2/4
|
Kasus Kedua
Ahli Waris
|
Bagian
|
|
Suami
|
1/2
|
3/6
|
Ibu
|
1/2
|
1/6
|
Ayah
|
2/6
|
[8] Fara' waris
perempuan adalah anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Fara'
waris laki adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Labels:
Pengantar Fiqh Mawaris
Thanks for reading PENGANTAR FIQIH MAWARIS. Please share...!
0 Comment for "PENGANTAR FIQIH MAWARIS"