Emytos
PERINGATAN : Beberapa fitur mungkin tidak akan berfungsi karena template masih dalam perbaikan.

MAKALAH TAFSIR : ILMU TAFSIR AL-QUR'AN




MAKALAH
ILMU TAFSIR AL-QUR’AN
M. Yusuf Al Faruq

PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk  memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.[1] Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Di dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosio ekonomis, religious, ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.[2]
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalm berbagai aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka (open ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu tafsir. Makalah ini akan membahas tentang ilmu tafsir meliputi sejarah dan perkembangannya, serta corak dan metode dalam penafsiran.

PEMBAHASAN

A.       Definisi Tafsir
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya[3]
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[4]
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[5]
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.[6]
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi penting untuk diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah ini akan penulis akan mepaparkan ulasan mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai modern.
B.       Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir
1.      Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir pada masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1). Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan).
a.       Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan pada Nabi.[7] Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44 bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan akal dalam penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah berkata:
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَ أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي إِذَا قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ مَالاَ أَعْلَمُ
“Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna Abbân. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs.[8]
Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era ini merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.[9]
b.      Tafsir pada masa tabi’in
Setelah generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar pada berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain itu penafsiran tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat menyebar ke berbagai daerah.
Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735 M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w. 720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.[10]
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari berpegang padanya.[11] Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli kitab.[12] Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan al-Qur’an.[13]
Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran tabi’in dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari sahabat.[14]
c.       Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)
Pasca generasi tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam (211 H).
Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).[15]
Sementara al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis. Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis. Namun penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan pada Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil ma’tsur). Ketiga, tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisah-kisah isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.[16]
2.      Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).[17] Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mazhab/aliran tertentu.
Diantara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul wujud.[18] Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis.[19] Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi pada ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl, macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.[20]
Selain nama mufassir di atas, muncul pula Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H) dengan karya tafsirnya Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau yang sering disebut dengan Tafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian cukup besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein al-Dzahabî.[21]
Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû Hayyân al-Andalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat dengan Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.[22]
Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat.
3.      Tafsir pada era Modern
Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.[23]
Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.[24]
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha.[25] Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral dari sebuah ayat.[26]
Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan cara baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-Jawâhir fi al-Tafsir digadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).[27]
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în al-Marâghi juga mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern dengan karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal dengan sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.[28] Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.[29]
Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan tafsirnya Fi zhilali al-Qur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan Tafsir al-Bayani li al-Qur’ani al-Karim.
Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958), Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr karya Buya Hamka (1908-1981)[30], dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.[31] Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
C.      Corak dan Metode Penafsiran
1.      Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu dalam kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam Al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an.[32] Metode bil ma'tsur, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah :
a.       Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
b.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan,
c.       Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan[33],
d.      Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat bagi generasi berikutnya.
Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
a.         Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu,
b.        Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[34]
c.         Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usaha-usaha musuh Islam.
d.        Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena para mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena kita telah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khairun qurun, masih sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup mantap.
2.      Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam menjelaskan sesuatu.[35] Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada yang semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3.      Tafsir Tahlily
Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas empat langkah, yaitu
a.    Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b.    Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat,
c.    Mengemukakan munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d.    Mufassir membahas asbab al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat dan tabi'in.[36]
Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy yang perlu dicarikan penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.[37] Contoh dari penafsiran ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami' al Bayan fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir al-Razi.
4.      Tafsir Muqaran
Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan pendapat ulama tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama[38] Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam metode tafsir muqaran :
a.    Arah kecenderungan mufassir dan faktor yang melatar belakanginya,
b.    Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya namun berbeda masalahnya,
c.    Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan,
d.    Pendapat ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya.
Karya-karya tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya tulis kontemporer, misalnya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern karya Maurice Bucaile dan Muhammad fi al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim Khalili (Rumi, 1413:57).

5.      Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian cara kerjan metode ini tidak jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang sama kecuali secara umum saja.[39] Contoh dari tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain.
6.      Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik, ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan sempurna.[40] Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu.
Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri dari bentuk tafsir tematik, antara lain :
a.         Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara integral menurut pandangan Al-Qur'an,
b.        Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang dipandang saling berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c.         Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d.        Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya,
e.         Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya,
f.          Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang ditetapkan,
g.         Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan oleh al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz Al-Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.[41]
Salah satu pakar tafsir yang mempopulerkan metode ini di Indonesia adalah M. Quraish Shihab dengan berbagai karyanya.

PENUTUP
A.       Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. Al-Qur’an ibarat samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus berenang dan menyelami samudera al-Qur’an. Tidak semua penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya karena keterbatasan kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan para pakar telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan zaman demi menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran di antaranya metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.



DAFTAR PUSTAKA

al-Banna, Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005, h. 43.
al-Marâghi, Ahmad Mustafa, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
al-Qaththan, Manna al-Khallil, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973.
al-Siddiqi , Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900.
al-Suyuthi,  Jalaluddin, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.
al-Zarqanî, Abdul Azhîm, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995.
Ghafur, Saiful Amin, Profil Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971.
J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2011.
Shihab , M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Bandung: Mizan, 1995.
Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.





[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 172.
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 83
[3] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
[4] Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
[5] Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang tersusun”, meliputi ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul, naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 324.
[6] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.) Juz II, hlm. 172.
[7] Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya tentang salât wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât wusthâ adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu dalam surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhalîn adalah kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.
[8] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
[9] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 337.
[10] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 41.
[11] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 37
[12] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
[13] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005), juz 1, h. 97.
[14] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 339.
[15] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 340-341.
[16] al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 7-8.
[17] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 25.
[18] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47.
[19] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 105.
[20] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 380.
[21] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h. 265-267.
[22] Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 504.
[23] Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
[24] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2.
[25] Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya merupakan tema-tema ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian diterbitkan dalam bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid Ridha. Maka penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha.
[26] J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8.
[27] Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 176.
[28] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 151-153.
[29] Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
[30] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237.
[31] Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001), vol. 2,  h. 126-132.
[32] Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3.
[33] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 157.
[34] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 49.
[35] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 351-352.
[36] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah al-Arabiyah, 1977, hlm. 18.
[37] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, hlm. 87.
[38] Said Aqil al-Munawwar, I,jaz Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm. 36.
[39] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i,hlm. 67.
[40] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 41-42.
[41] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, hlm. 51-55.
Labels: Tafsir

Thanks for reading MAKALAH TAFSIR : ILMU TAFSIR AL-QUR'AN. Please share...!

0 Comment for "MAKALAH TAFSIR : ILMU TAFSIR AL-QUR'AN"

Back To Top