MAKALAH
ILMU TAFSIR AL-QUR’AN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak
yang menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an
adalah kitab suci bagi umat Islam yang
memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.[1]
Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-Qur’an bagaikan samudra yang
tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan
khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan
berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi kehidupan
manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin,
Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari
segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Di
dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosio ekonomis,
religious, ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia sampai
abad ke VII masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar
bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang
simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.[2]
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalm
berbagai aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka (open
ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode
tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari sini muncullah
ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya
ilmu tafsir. Makalah ini akan membahas tentang ilmu tafsir meliputi sejarah dan
perkembangannya, serta corak dan metode dalam penafsiran.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Tafsir
Para
pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara
etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir. Secara etimologi kata tafsir berarti al-ibanah wa kasyfu
al-mughattha (menjelaskan dan menyingkap yang tertutup). Dalam kamus Lisan
al-‘Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar. Hal ini didasarkan pada firman Allah
Sûrah al-Furqân: 33
وَلَا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”[3]
Sedangkan secara terminologi penulis akan
mengungkapkan pendapat para pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami
al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan
makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[4]
Menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-Qaththân,
mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz
al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna yang dimungkinkan baginya
ketika tersusun serta hal lain yang melengkapinya.[5]
Ilmu tafsir merupakan bagian
dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena
pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah
yang merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda
dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan
berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin
mendesak lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai
dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada
pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.[6]
Demikian ulasan mengenai definisi tafsir. Hal ini menjadi
penting untuk diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak
keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Ulama modern, tentu akan
berbeda melihat “tafsir” dengan ulama terdahulu. Dibawah
ini akan penulis akan mepaparkan
ulasan mengenai perkembangan tafsir dan penafsiran dari masa klasik sampai
modern.
B.
Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir
1.
Tafsir pada Masa Klasik
Agar mempermudah pembahasan mengenai perkembangan tafsir
pada masa klasik, penulis akan memetakan dalam tiga pembahasan, yakni (1).
Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3).
Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan).
a.
Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan
penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi pun menjadi
sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an. Bagi para sahabat, untuk mengetahui
makna al-Qur’an tidaklah terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan
dengan Nabi sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih
mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka segera menanyakan
pada Nabi.[7]
Sehingga ciri penafsiran yang berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan
yang dinukil dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44
bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُون
“Dan
Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit
sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil ra’yî dalam
menafsirkan al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan tegas menolak penggunaan
akal dalam penafsiran adalah Abû Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah
berkata:
أَيُّ
أَرْضٍ تُقِلُّنِي وَ أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي إِذَا
قُلْتُ فِي كِتَابِ اللهِ مَالاَ أَعْلَمُ
“Bumi
manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi aku, apabila aku
mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang
bertanya tentang makna Abbân. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa
Abû Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan
ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula beberapa sahabat yang menafsirkan
al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî selain dengan riwayat, yaitu Ibn
Mas’ûd dan Ibn Abbâs.[8]
Secara garis besar para sahabat
berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sendiri,
Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak
dibukukan sama sekali, karena pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada
era ini merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum tersusun secara
sistematis, dan masih diriwayatkan secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.[9]
b.
Tafsir pada masa tabi’in
Setelah
generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada
masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa
sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat
sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak
bersandar pada berita-berita israiliyyât dan nasrâniyyât. Selain
itu penafsiran tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan
ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat
menyebar ke berbagai daerah.
Ada tiga
aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran Makkah, Sa’îd ibn Jubaîr
(w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid ibn Jabr (w. 722). Mereka
berguru pada Ibn Abbâs. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w.
735 M), Zaîd ibn Aslâm al-Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka
berguru pada Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w.
720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M) dan Qatâdah ibn
Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.[10]
Menurut
Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah
sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn
Aslâm dan Imam Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa
Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam Bukhari
berpegang padanya.[11]
Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan
bahwa Mujâhid banyak bertanya pada ahli kitab.[12]
Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal
sebagai mufassir yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan
al-Qur’an.[13]
Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran
yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun
dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in tersebut
dapat dipegangi atau tidak. Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen
bahwa para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat ayat
al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran tabi’in
dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari
sahabat.[14]
c.
Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)
Pasca
generasi tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir
pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para
ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang
diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan
menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari
sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis.
Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn
Uyainah (198 H), Wakî’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul
Rozaq bin Hamam (211 H).
Setelah
ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab
hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara
sistematis sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini
adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w.
327 H), Abu Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû Bakar ibn
Mardawaih (w. 410 H).[15]
Sementara
al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan
ciri dan karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan
penulisan hadis. Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab
tersendiri di dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari
kitab hadis. Namun penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang
disandarkan pada Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran
bil ma’tsur). Ketiga, tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan
riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat
tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabî mensinyalir
adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisah-kisah isrâiliyyât
dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas
pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.[16]
2.
Tafsir pada Abad Pertengahan
Perkembangan
tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada
abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the
golden age).[17] Perkembangan penafsiran
tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis.
Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan
kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an pun seringkali
dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan mazhab/aliran tertentu.
Diantara
kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan
antara lain: Jamî’ al-Bayân an Ta’wîl al-Qur’ân karya Ibn Jarîr
al-Thabarî (w. 923 M/310 H); al-Kasysyâf an Haqâ’iq al-Qur’ân karya Abû
al-Qasîm Mahmûd ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafâtih al-Ghaib
karya Fakhruddîn ar-Râzi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsîr Jalâlaîn karya
Jalâluddîn Mahallî (w. 1459 M) dan Jalâluddîn al-Suyûti (w. 1505 M).
Pada
perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap
mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk
mendukung pahamnya, wahdatul wujud.[18] Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn
Katsîr pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi munculnya tafsir abad
ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri sepuluh jilid menjadi
karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis.[19]
Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya Abdullah
al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama
Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubî tidak membatasi pada
ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an
secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb nuzûl,
macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.[20]
Selain
nama mufassir di atas, muncul pula Alî ibn Muhammad al-Baghdadî (678-741 H)
dengan karya tafsirnya Tafsîr Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni Tanzîl, atau
yang sering disebut dengan Tafsir al-Khâzin. Sumber-sumber penafsiran
dalam tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Khâzin menaruh perhatian
cukup besar banyak terhadap kisah-kisah isrâiliyyât. Sehingga ada beberapa
penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein al-Dzahabî.[21]
Pada
tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû Hayyân al-Andalusî.
Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak mencurahkan
perhatiannya dalam masalah I’rab dan Nahwu. Karena perhatian yang cukup besar
dalam masalah Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok
disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari
dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat dengan
Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.[22]
Selain
nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada
abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis
tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad
pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia,
maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan
mazhab dan tempat.
3.
Tafsir pada era Modern
Akulturasi
budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran
al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan
pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir
era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama
penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas
era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini
bahwa umat Islam belum memahami spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal
menangkap spirit rasional al-Qur’an.
Atas
dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim
modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau kembali pada al-Qur’an. Kemudian
mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.[23]
Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern Muslim
Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern
adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna
menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung
dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut
Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan
peradaban asing kian lebih intensif.[24]
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh
(1849-1905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh
mulai menulis tafsir al-Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha.[25]
Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian
Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J.
Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang
berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan
ajaran moral dari sebuah ayat.[26]
Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang
menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai
kemudian muncul metode dan cara baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah
Thanthâwi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi
ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi
atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-Jawâhir
fi al-Tafsir digadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).[27]
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în al-Marâghi juga
mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern dengan karya
tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal dengan sebutan Tafsîr
al-Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama
sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.[28]
Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia
merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang
terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.[29]
Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan tafsirnya Fi
zhilali al-Qur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan Tafsir
al-Bayani li al-Qur’ani al-Karim.
Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab
tafsirnya. Antara lain: Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud
Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsîr al-Furqân karya Ahmad Hasan (w.
1887-1958), Tafsîr al-Qur’ân karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsîr
al-Nûr al-Majîd karya Hasbi al-Siddiqi (1904-1975), Tafsîr al-Azhâr
karya Buya Hamka (1908-1981)[30],
dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Titik perbedaan tafsir modern dengan
sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak
reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.[31]
Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan
Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi
berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.
C.
Corak dan Metode Penafsiran
1.
Tafsir bi al-Ma’tsur
Cara
penafsirian yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu dalam
kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan).
Metode periwayatan ini oleh al-Zarqani didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan
dalam Al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah
SWT pada nash Al-Qur'an.[32] Metode bil ma'tsur,
memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan.
Keistimewaannya, antara lain, adalah :
a.
Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami Al-Qur'an,
b.
Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan,
c.
Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga
membatasinya terjerumus dalam subyektivitas yang berlebihan[33],
d.
Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang
bermanfaat bagi generasi berikutnya.
Disisi
lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode
ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah :
a.
Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan
kesusasteraan yang bertele-tele, sehingga pesan pokok Al-Qur'an menjadi kabur
di celah uraian itu,
b.
Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau
sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh)
hampir dapat di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut
bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat
tanpa budaya.[34]
c.
Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan
usaha-usaha musuh Islam.
d.
Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsur-unsur
Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur'an,
Berkembangnya
penafsiran bi al ma 'tsur zaman itu cukup dapat dipahami karena para
mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara
baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan Al-Qur'an dan segi bahasanya.
Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk masa
kini, agaknya sangat sulit karena kita telah kehilangan kemampuan dan rasa
bahasa Arab itu. Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup beralasan
dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau
dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka dalam
menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan
riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai
bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang
peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.
Cukup
beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an. Karena,
ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in
masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu
pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan kepada sahabat,
dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi dan orang-orang berjasa, dan
demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khairun
qurun, masih sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan
akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup
mantap.
2.
Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra'yi adalah
jenis metode penafsiran Al-Qur'an dimana seorang
mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan
definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah
tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti,
bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau
penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut Manna
al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan
menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam menjelaskan
sesuatu.[35]
Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan
tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada yang semestinya dan
jauh dari kesesatan dan kebodohan.
3.
Tafsir Tahlily
Metode
tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah
suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana
yang tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri
atas empat langkah, yaitu
a. Mufassir mengikuti runtutan
ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf,
b. Diuraikan dengan mengemukakan
arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat,
c. Mengemukakan munasabah (koralasi)
ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain,
d. Mufassir membahas asbab
al-nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat dan tabi'in.[36]
Kelemahan metode tahliliy menurut
Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil
atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap pendapat-pendapatnya dengan
ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu
memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat
mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang dirasakan dalam
tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy yang perlu dicarikan
penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi
berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak
sepenuhnya mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami
dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat teoritis dan umum
itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.[37] Contoh dari penafsiran
ini adalah karya-karya mufassir klasik seperti tafsir "Jami' al Bayan
fa Tafsir Al-Qur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih al
Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat
dari coraknya termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy,
demikian pula dengan tafsir al-Razi.
4.
Tafsir Muqaran
Dalam
bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab mendefinisikan
tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang
satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda
masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad
saw, yang tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan
pendapat ulama tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama[38] Dari beberapa pengertian
diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam metode tafsir muqaran :
a. Arah kecenderungan mufassir
dan faktor yang melatar belakanginya,
b. Penafsiran ayat Al-Qur'an
dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya namun berbeda masalahnya,
c. Penafsiran ayat Al-Qur'an
dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan,
d. Pendapat ulama tafsir dengan
pendapat ulama tafsir lainnya.
Karya-karya tulis yang termasuk dalam
klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya tulis kontemporer, misalnya Al-Qur'an,
Bible dan Sains Modern karya Maurice Bucaile dan Muhammad fi
al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim Khalili (Rumi, 1413:57).
5.
Tafsir Ijmaly
Tafsir ijmaliy adalah
suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan
cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir membahas
ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian
cara kerjan metode ini tidak jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena
keduanya tetap terikat dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam
mushaf, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang
sama kecuali secara umum saja.[39]
Contoh dari tafsir yang mempergunakan metode ini
adalah tafsir Jalalain.
6.
Tafsir Maudhu’i (Tematik)
Ali Khalil sebagaimana
dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan pengertian tafsir
tematik, yaitu : Mengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan
dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayat-ayat tersebut
disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya.
Lalu oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik,
ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada
gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga
dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan sempurna.[40]
Jadi lewat metode ini, penafsiran dilakukan dengan jalan memilih topik
tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian
dikumpulkanlah semua ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian
dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat
menjelaskan, baru akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman
mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu.
Jika pengertian tafsir tematik itu kita
cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri dari bentuk tafsir tematik, antara
lain :
a.
Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti
tersusun dalam urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam
tafsir tahlilliy, melainkan suatu tema tertentu yang ingin diketahui
makna atau pengertiannya secara integral menurut pandangan Al-Qur'an,
b.
Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayat-ayat yang
dipandang saling berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu,
c.
Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi
turunnya ayat dan asbab al-Nuzulnya,
d.
Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik,
masing-masing ayat dan lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan
ditinjau dan berbagai aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat",
dan sebagainya,
e.
Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai
ilmu, baik yang tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun
ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan
sebagainya,
f.
Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu
topik yang ditetapkan,
g.
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana
dikemukakan oleh al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudlu'i adalah memahami makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan
sekedar mengetahui i'jaz Al-Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian
nilai sastranya atau kehebatan-kehebatan Al-Qur'an lainnya.[41]
Salah satu pakar tafsir
yang mempopulerkan metode ini di Indonesia adalah M. Quraish Shihab dengan
berbagai karyanya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi.
Al-Qur’an ibarat samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara
ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus berenang dan menyelami samudera
al-Qur’an. Tidak semua penyelam itu memperolah apa yang diinginkannya karena
keterbatasan kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.
Ilmu tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa,
bahkan para pakar telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan
zaman demi menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa makan.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam penafsiran
di antaranya metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i.
DAFTAR PUSTAKA
al-Banna,
Gamal, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent.
Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
al-Dzahabî,
Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Dâr al-Kutub
al-Hadîtsah, 2005, h. 43.
al-Marâghi,
Ahmad Mustafa, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.
al-Qaththan, Manna
al-Khallil, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits,
1973.
al-Siddiqi
, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1900.
al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, Cairo:
Mathba'ah Hijazy, tt.
al-Zarqanî,
Abdul Azhîm, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Maktabah
al-Arabiyah, 1995.
Ghafur,
Saiful Amin, Profil Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Ibn
Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-Qur’ân
al-Karîm, 1971.
J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent
A. Ni’amullah Mu’iz, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Mustaqim,
Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2011.
Shihab
, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Bandung: Mizan, 1995.
Tim
penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung:
Mizan, 1995), h. 172.
[3] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
(Riyadh: Mansyurat al-‘ashr al-hadits, 1973), h. 323.
[4] Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm
al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
[5] Yang dimaksud “petunjuk-petunjuknya” adalah pengertian yang
ditunjukkan oleh lafaz-lafaz. Kemudian “hukum yang berdiri sendiri atau yang
tersusun”, meliputi ilmu Sharf, I’rab, Bayan, Badi’. “makna yang memungkinkan
baginya ketika tersusun” meliputi pengertian hakiki dan majazi. Sedangkan yang
dimaksud “hal-hal yang melengkapinya” adalah pengetahuan mengenai asbab nuzul,
naskh mansukh, kisah-kisah dan lain sebagainya yang menjadi lingkup kajian ilmu
al-Qur’an. Lihat Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 324.
[6]
Jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.)
Juz II, hlm. 172.
[7] Di antara
penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya tentang salât
wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud salât wusthâ adalah
salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa al-Maghdu dalam
surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhalîn adalah kaum
Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.
[8] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
[10] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,
(Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 41.
[11] Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr,
(Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 37
[12] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
[13] Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
(Kairo: Dâr al-Hadîtsah, 2005), juz 1, h. 97.
[14] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 339.
[15] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 340-341.
[16] al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr
al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa Daf’uhâ, h. 7-8.
[17] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 25.
[18] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h.
47.
[19] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h.
105.
[20] Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 380.
[21] al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, vol. 1, h.
265-267.
[22] Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân,
h. 504.
[23] Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.
[24] J.M.S. Baljon, Tafsir
Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), h. 2.
[25] Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Abdul awalnya
merupakan tema-tema ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian
diterbitkan dalam bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid
Ridha. Maka penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha.
[26] J.M.S. Baljon, Tafsir
Qur’an Muslim Modern, h. 8.
[27] Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga
Zaman Modern, Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h.
176.
[28] Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h.
151-153.
[29] Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1,
h. 3.
[30] Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an-Tafsir, h. 237.
[31] Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the
Qur’an, (Brill:
Leiden, 2001), vol. 2, h. 126-132.
[32] Muhammad Abd. Al-Adzim
al-Zarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab
al-Halaby, 1957), h. 3.
[36] Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudlu'i, Kairo: Al-Hadharah al-Arabiyah, 1977, hlm.
18.
[38] Said Aqil al-Munawwar, I,jaz
Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm.
36.
Labels:
Tafsir
Thanks for reading MAKALAH TAFSIR : ILMU TAFSIR AL-QUR'AN. Please share...!
0 Comment for "MAKALAH TAFSIR : ILMU TAFSIR AL-QUR'AN"