Emytos
PERINGATAN : Beberapa fitur mungkin tidak akan berfungsi karena template masih dalam perbaikan.

Tinjauan Hukum Islam tentang Pidana Mati Bagi Penyalahguna Narkotika (UU NOMOR 35 TAHUN 2009)

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Akhir-akhir ini, peredaran dan pengonsumsian obat-obat terlarang, sabu-sabu dan segala macam jenisnya, menunjukkan gejala yang makin tak terkendali. Selain karena kemasan dan teknis pengedarannya yang luar biasa rapi, juga sangat dirasakan bahwa mekanisme kontrol pribadi anak-anak muda kita makin tidak jelas lagi.
[1] Secara aktual,  penyalahgunaan Narkotika sampai saat ini mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Hampir  seluruh  penduduk dunia dapat dengan  mudah mendapatkan Narkotika, misalnya  dari bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah, diskotek, dan berbagai tempat  lainnya. Bisnis Narkotika telah tumbuhan dan menjadi bisnis  yang banyak diminati karena keuntungan ekonomis.[2]
Salah satu tindak pidana yang belakangan ramai diperbincangkan di tanah air adalah tindak pidana narkoba. Data dari BNN menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah pengguna narkoba meningkat seiring dengan meningkatnya pengungkapan tindak pidana ini oleh polisi. Di sepanjang 2009 hingga 2013 :
No
Kasus
Tahun
2009
2010
2011
2012
2013
1.
Narkotika
11.140
17.898
19.128
19.081
21.269
2.
Psikotropika
8.779
1.181
1.601
1.729
1.612
3.
Bahan adiktif lain
10.964
7.599
9.067
7.917
12.705
Sumber : Polri dan BNN, Maret 2014
Data terakhir dari hasil penelitian Puslitkes UI dan BNN yang kemudian dipublikasikan kepada media disebutkan bahwa tahun 2014, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai angka 4,1 juta orang. Sementara angka penyalahgunaan narkotika di tahun 2015 meningkat, yakni mencapai 4,33 juta orang.[3]
Kepala BNN, Komjen Pol Anang Iskandar menegaskan kerugian yang dialami negara dari narkoba mencapai Rp. 63 Triliun. Bahkan mengenai pengguna narkoba, ia menjelaskan ada 50 orang meninggal per hari akibat barang haram ini[4]. Selain itu, menurutnya, “Kini telah ditemukan zat psikoaktif baru di mana ada sekitar 14 zat ditemukan di Indonesia. Semakin meningkatnya jumlah kasus peredaran obat terlarang secara illegal di Indonesia yang dari tahun ke tahun.” [5]
Kondisi Indonesia yang darurat Narkoba, disampaikan Presiden Joko Widodo pada Februari silam. Presiden menjelaskan ada 18 ribu orang yang tewas per tahun akibat narkoba. Dalam upaya pemberantasan dan penanggulangan kasus narkoba, negara memiliki tanggung jawab yang besar yakni menyelamatkan warganya dengan cara merehabilitasi. Jumlah yang menjadi tanggungan negara tak tanggung-tanggung yakni  4,2 - 4,5 juta penyalahgunaan narkoba. Selain itu, masih sebanyak 1,2 juta penyalahgunaan narkoba tidak bisa direhabilitasi[6]. Berlatar tingginya beban negara dan terus meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran narkoba di Indonesia membuat Presiden menolak dengan tegas grasi yang diajukan oleh para terpidana mati kasus Narkoba[7]. Pernyataan penolakan ini disampaikan Presiden kepada wartawan ketika meresmikan Masjid Raya Mujahidin di Pontianak, Kalimantan Barat pada Januari 2015 silam. Presiden menyatakan tidak akan memberikan grasi kepada 64 terpidana mati kasus narkoba yang meminta grasi padanya[8].
Terkait dengan hukuman mati, hukuman ini merupakan hukuman maksimal yang diberikan kepada pengedar dan produsen beragam jenis narkotika. Dalam upaya memerangi narkoba dibentuklah aturan hukum untuk menjerat para pelaku tindak pidana ini, yakni Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.[9] Pada UU Narkotika, sanksi pidana mati, salah satunya diatur dalam Pasal 114 ayat 2.[10]

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik beberapa poin rumusan masalah, sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan narkotika dan tindak pidana narkotika?
2.      Apakah yang dimaksud hukuman mati bagi tindak pidana narkotika (UU No. 35 tahun 2009) menurut hukum positif dan hukum Islam?


NARKOTIKA DAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A.    Narkotika
Narkotika[11] adalah zat yang sangat sebenarnya dibutuhkan dalam pengembangan dunia medis.[12] Ikin A. Ghani menjelaskan bahwa istilah narkotika berasal dari dari bahasa Yunani yakni narkon yang artinya  beku  dan  kaku. Dalam ilmu kedokteran juga dikenal istilah  Narcose  atau  Narcicis  yang berarti membiuskan.[13] Sedangkan H. Mardani  Narkotika  adalah  zat atau obat  yang berasal dari tanaman atau bahan tanaman baik yang sintesis  maupun semi sintesisnya yang dapat menyebabkan penurunan atau penambahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi atau sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat  menimbulkan  ketergantungan.[14]
Untuk penggolongannya, UU Narkotika membagi 3 jenis narkotika, yaitu[15] :
1.      Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
2.      Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
3.      Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

B.     Tindak Pidana Narkotika
Dapat diartikan dengan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum Narkotika.[16] Dalam undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika dalam pasal 1 ayat 15 dijelaskan bahwa “Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Yang termasuk kejahatan narkotika tidak hanya pengedar dan produksi narkotika, akan tetapi semua pihak yang terlibat dan berperan dalam kegiatan tersebut termasuk dalam kejahatan narkotika. Hal ini termaktub dalam pasal 1 ayat (18) UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika bahwa Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasi suatu tindak pidana narkotika.[17]
Pelaku penyalahgunaan narkoba terbagi atas dua kategori yaitu pelaku sebagai “pengedar” dan/atau “pemakai”.[18] Berikut ini jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika :
1.      Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan Narkotika Tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dibedakan menjadi dua macam yaitu perbuatannya untuk orang lain dan untuk diri sendiri.
2.       Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli Narkotika Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli di sini bukan hanya dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor impor dan tukar menukar Narkotika.
3.      Tindak pidana yang menyangkut pengangkutan Narkotika Tindak pidana dalam arti luas termasuk perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, dan mentrasito Narkotika. Selain itu, ada juga tindak pidana di bidang pengangkutan Narkotika yang khusus ditujukan kepada nahkoda atau kapten penerbang karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sebagaimana diatur dalam Pasal 139 UU Narkotika.
4.      Tindak pidana yang menyangkut penguasaan Narkotika
5.      Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan pecandu Narkotika Orang tua atau wali memiliki kewajiban untuk melaporkan pecandu Narkotika. Karena jika kewajiban tersebut tidak dilakukan dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua atau wali dan pecandu yang bersangkutan.
6.      Tindak pidana yang menyangkut label dan publikasi Seperti yang diketahui bahwa pabrik obat diwajibkan mencantumkan label pada kemasan Narkotika baik dalam bentuk obat maupun bahan baku Narkotika (Pasal 45). Kemudian untuk dapat dipublikasikan Pasal 46 UU Narkotika syaratnya harus dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Apabila tidak dilaksanakan dapat merupakan tindak pidana.
7.      Tindak pidana yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan Narkotika Barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana dilakukan penyitaan untuk dijadikan barang bukti perkara bersangkutan dan barang bukti tersebut harus diajukan dalam persidangan. Status barang bukti ditentukan dalam Putusan pengadilan.
8.      Tindak pidana yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur Tindak pidana di bidang Narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan ini dilakukan pula bersama-sama dengan anak di bawah umur (belum genap 18 tahun usianya). Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak di bawah umur untuk melakukan kegiatan Narkotika merupakan tindak pidana.
HUKUM PIDANA MATI
BAGI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A.    Hukuman Pidana Mati Bagi Penyalahgunaan Narkotika (UU. No. 35 tahun 2009) Menurut Hukum Positif
Di Indonesia tindak pidana yang tergolong sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif yang meluas dan sistematik bagi khalayak, menjadi titik tekan yang paling dirasakan masyarakat.[19]
Maka sebagai langkah yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di Indonesia, maka keluarlah putusan MK Nomor 2-3/PUUV/2007. Dalam Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  2009 tentang Narkotika telah memuat pidana mati. Bahwa ancaman pidana mati bagi pengedar  diatur dalam Pasal 114 ayat (2) dan Pasal 119 ayat (2)[20].
Ada beberapa dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati  Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika berdasarkan hasil wawancara dengan  narasumber, yaitu  Bapak  Danardono,  S.H.  yang merupakan salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Sleman, menyebutkan bahwa pada dasarnya pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah sama. Selain itu, Hakim  mempertimbangkan  bahwa  peredaran  gelap  narkotika  mempunyai  dampak  yang  cukup luas dan merusak generasi muda pewaris bangsa. Dampak dari penyalahgunaan narkotika adalah berujung dengan kematian yang disebabkan oleh over dosis, perkelahian ataupun kecelakaan lalu lintas. Dengan pidana mati maka akan  menghentikan  jaringan  narkotika  dan  dampak  dengan di pidana matinya  pengedar  narkotika  akan  menyelamatkan  anak  bangsa. Lebih baik menghilangkan satu nyawa bila dapat menyelamatkan ratusan jiwa. Hakim  mempertimbangkan  bahwa  pidana  mati  yang  dijatuhkan  terhadap pelaku peredaran gelap narkotika dapat menjadi pelajaran bagi orang lain supaya berpikir dua kali untuk melakukan dan membantu peredaran gelap narkotika.[21]
Hukuman mati di bawah hukum internasional biasanya di toleransi ketika suatu kejahatan dapat dianggap sebagai "kejahatan yang paling serius". Komite Hak Asasi Manusia PBB telah menetapkan bahwa "kejahatan yang paling serius" dibatasi untuk tindakan yang secara langsung menyebabkan kematian. Laporan lain oleh ICCPR telah menyatakan bahwa hukuman mati harus digunakan secara terbatas hanya dalam kasus-kasus di mana kejahatan yang sangat mematikan (incredibly lethal), memiliki konsekuensi yang sangat serius, dan tindakan kekerasan.[22]
Pada penerapan hukuman mati terhadap pengedar Narkoba secara yuridis telah memenuhi prosedur sebagaimana yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yaitu Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terlebih  lagi adanya tuntutan keadaan yang sudah sepantasnya hukuman mati itu diterapkan,  maka walaupun menyalahi Undang-undang Hak Asasi Manusia, namun bukan dianggap sebagai pelanggaran hukum. Apalagi jika dilihat dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pengedar narkoba mempunyai dampak yang cukup luas, banyak  pecandu narkoba yang disembuhkan tetapi kambuh lagi.[23]
B.     Hukuman Pidana Mati Bagi Penyalahgunaan Narkotika (UU. No. 35 tahun 2009) Menurut Hukum Islam
Kebanyakan fuqaha mazhab Hanafiyyah memperbolehkan hukuman mati  terhadap khamr termasuk narkotika karena sifatnya merusak sebagai dan menyebutnya  pembunuhan dikarenakan  motif politik. Beberapa ulama’ mazhab Hanabilah terutama Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim serta beberapa muridnya  juga  mendukung  pendapat tadi. Pendapat tersebut juga didukung oleh beberapa  ulama’ Malikiyah  (Hanafi,  2009: 198).[24]
Yusuf  Al Qardawi memberikan fatwa bahwa pemerintahan (negara) harus memerangi  narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada  yang mengusahakan  dan mengedarkannya. Dengan dalil bahwa hakikatnya pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan. Mereka layak mendapatkan  hukuman qisash  (Al Qardhawi, 2009: 216).
Kemudian lebih  lanjut Al-Qardhawi menyatakan memang di dalam Al-Quran dan Hadis menyebutkan pengharaman khamr, tetapi tidak menyebutkan keharaman  bermacam-macam benda padat  yang  memabukkan, seperti ganja dan heroin. Maka  bagaimanakah  hukum  syara'  terhadap penggunaan  benda-benda tersebut, sementara sebagian  kaum  muslim  tetap  mempergunakannya. dengan  alasan  bahwa  agama  tidak mengharamkannya,   ganja,  heroin,  serta  bentuk lainnya baik padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan mukhaddirat (narkotik)  adalah  termasuk benda-benda  yang  diharamkan  syara' tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama (Al-Qardhawi, 2012 : 118).
Dalam hukum Islam, bahwa kategori kejahatan luar biasa adalah  jarimah hirabah. Kejahatan jarimah hirabah sendiri adalah  perampokan. Jarimah pencurian terbagi dua, yaitu pencurian kecil  (al-sariqah  al-shugra), yaitu mengambil harta yang bukan haknya secara sembunyi-sembunyi, dan pencurian besar (al sariqah al-kubra), yaitu mencuri harta yang bukan haknya dengan cara merampas atau terang-terangan, yang biasa disebut  perampokan (al-hirabah).[25] Hirabah diterapkan kepada pengedar narkotika karena telah melawan  hukum yang berlaku, memerangi Allah, menentang ajaran Rasulullah, dan dapat  merusak tatanan negara, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ma’idah ayat 33 yaitu:
 إِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh  atau  disalib,  atau  dipotong  tangan  dan  kaki mereka  dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) satu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”[26]
Penulis[27] mengambil kesimpulan tersebut karena sifat dari narkotika, yaitu membunuh satu orang manusia sama saja dengan membunuh seluruh umat yang dianalogikan dengan kejahatan narkotika yang membunuh bukan saja per orang, tetapi  membunuh  ribuan  bahkan  ratusan  ribu  manusia. Sebagaimana  dijelaskan dalam  surat  al-Maidah  ayat  32  yang  masih  keterkaitan  dengan  surat  al-Maidah ayat 33 dan kejahatan tindak pidana pengedar narkotika termasuk juga kejahatan luar  bisa  yang  terorganisir  secara  rapi.
Sementara dalam Bidayatul Mujathid, mengenai hukuman yang dijatuhkan atas orang yang melakukan hirabah, fuqoha sepakat bahwa hukuman tersebut berkaitan dengan hak Allah dan hak manusia. Disepakati pula bahwa hak Allah tersebut adalah hukuman mati, hukuman salib, dipotong tangan dan kakinya secara silang, dan hukuman pengasingan, seperti telah ditegaskan oleh Allah dalam ayat yang berkenaan dengan hirabah itu.[28]
Oleh karena dalil tentang pidana terhadap kejahatan narkotika ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya: “menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”[29]
Atau kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الضرر لا يزال بالضرر
Artinya: “Bahwa segala bentuk bahaya harus dihilangkan dan disingkirkan”.[30]
Kaidah ini menegaskan bahwa tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat. Kemaslahatan  membawa  manfaat  bagi  kehidupan  manusia,  sedangkan mafsadah mengakibatkan  kemudaratan  bagi  kehidupan  manusia.
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2014 tentang Hukuman Bagi Produsen, Bandar,  Pengedar, Penyalah Guna Narkoba[31] dengan ketentuan hukum sebagai berikut:
1.      Memproduksi, mengedarkan, dan menyalahgunakan narkoba tanpa hak hukumnya haram, dan merupakan tindak pidana yang harus dikenai hukuman had dan/atau ta’zir.
2.      Produsen, bandar, pengedar, dan penyalah guna narkoba harus diberikan hukuman yang sangat berat karena dampak buruk narkoba jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan khamr (minuman keras).
3.      Negara boleh menjatuhkan hukuman ta’zir sampai dengan hukuman mati kepada produsen, bandar, pengedar, dan penyalah guna narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau tindakan tersebut berulang, demi menegakkan kemaslahatan umum.
4.      Pemerintah tidak boleh memberikan pengampunan dan/atau keringanan hukuman kepada pihak yang telah terbukti menjadi produsen, bandar, pengedar, dan penyalah guna narkoba.
5.      Penegak hukum yang terlibat dalam produksi dan peredaran narkoba harus diberikan pemberatan hukuman.



PENUTUP

A.    Simpulan
Narkotika  adalah  zat atau obat  yang berasal dari tanaman atau bahan tanaman baik yang sintesis  maupun semi sintesisnya yang dapat menyebabkan penurunan atau penambahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi atau sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat  menimbulkan  ketergantungan. Dalam undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika dalam pasal 1 ayat 15 dijelaskan bahwa “Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Yang termasuk kejahatan narkotika tidak hanya pengedar dan produksi narkotika, akan tetapi semua pihak yang terlibat dan berperan dalam kegiatan tersebut termasuk dalam kejahatan narkotika.
Pada penerapan hukuman mati terhadap pengedar Narkoba secara yuridis telah memenuhi prosedur sebagaimana yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yaitu Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Terlebih  lagi adanya tuntutan keadaan yang sudah sepantasnya hukuman mati itu diterapkan,  maka walaupun menyalahi Undang-undang Hak Asasi Manusia, namun bukan dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Bagi “pengguna narkotika”, kebanyakan fuqaha mazhab Hanafiyyah memperbolehkan hukuman mati  terhadap khamr termasuk narkotika karena sifatnya merusak sebagai dan menyebutnya  pembunuhan dikarenakan  motif politik. Beberapa ulama’ mazhab Hanabilah terutama Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim serta beberapa muridnya  juga  mendukung  pendapat tadi. Pendapat tersebut juga didukung oleh beberapa  ulama’ Malikiyah  (Hanafi,  2009: 198). Berkenaan dengan penjatuhan hukuman terhadap pengedar narkotika, Yusuf  Al Qardawi memberikan fatwa bahwa pemerintahan (negara) harus memerangi  narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada  yang mengusahakan  dan mengedarkannya. Dengan dalil bahwa hakikatnya pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan. Mereka layak mendapatkan  hukuman qisash  Berkenaan dengan penjatuhan hukuman terhadap pengedar narkotika, Yusuf  Al Qardawi memberikan fatwa bahwa pemerintahan (negara) harus memerangi  narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada  yang mengusahakan  dan mengedarkannya. Dengan dalil bahwa hakikatnya pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan. Mereka layak mendapatkan  hukuman qisash 










DAFTAR PUSTAKA

Audah, Abdulqadir, al-Tasyri’ al-Jina’i  al-Islami. Juz II. Beirut: Dar al-Fikr.
Departemen Agama RI. 1998.  Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris) Departemen Agama RI.  Semarang: Asy-Syifa.
Djazuli, A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Prakti.. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Ghani, Ikin A. dan Abu Charuf. 1985. Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan Penanggulangannya. Yayasan Bina Taruna, Jakarta.
H. Mardani. 2008. Penyalahgunaan  Narkotika  Dalam  Perspektif  Hukum  Islam  Dan  Hukum  Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ihsan, A. Ghozal. 2015. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Semarang: Basscom.
Ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid, Terjemah: Imam Ghozali Said – Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Imani.
Khermarinah. 2016 “Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukuman Mati Bagi Terpidana Bali Nine dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika”. Jurnal Manhaj. Vol. 6 No 1.
Kolopita, Satrio Putra. 2013. “Penegakan Hukum Atas Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”. Lex Crimen. Vol. II. No.4.
Majelis Ulama Indonesia. 2014. Fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2014 tentang Hukuman Bagi Produsen, Bandar,  Pengedar, Penyalah Guna Narkoba, http://mui.or.id, diakses pada hari Sabtu 8 Oktober 2016.
Makarao, Moh. Taufik. Suharsil. Moh Zakky AS. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Manurung, Irwan Midian. 2013. “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”. jurnal skripsi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Maulida, Laili. 2009. “Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak di Bawah Umur”. skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Mulyadi, Lilik. 2012. “Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba: Penelitian Asas, Teori, Norma dan Praktek Peradilan”. Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 1. No. 2.
Nugroho, Tri Fajar. 2016. “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Pengedar Narkotika”. Skripsi. Lampung: Universitas Lampung.
Redaksi Elshinta.com, “Mengapa Indonesia Darurat Narkoba?”, http://elshinta.com/news, diunggah pada Selasa 17 Maret 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Rimadi, Luqman. “Jokowi: Grasi 64 Terpidana Mati Narkoba Ditolak, Setuju?”, http://news.liputan6.com, diunggah pada 20 Januari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Rokhim, Abdul. 2015. “Hukuman Mati Perspektif Relativisme Hak Asasi Manusia”. Jurnal Transisi Malang. No.10.
Sanuwar. 2013. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana Mati Bagi Pengedar Narkotika (Studi Pasal 114 ayat (2) dan 119 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”. Skripsi. Semarang:  IAIN Walisongo.
Sari, Gusti Ayu Cindy Permata. dkk. 2016. Makalah “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pidana Mati Terkait Kasus Narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar (Penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar)”. Bali: Universitas Udayana.
Satria, Hardiat Dani. Jokowi : “Indonesia Darurat Narkoba”, http://news.metrotvnews.com, diunggah pada 5 Februari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Supermana, Rizki. “Presiden Jokowi : Indonesia Darurat Narkoba”, http://rri.co.id, diunggah pada 4 Februari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Susila, Suryanta Bakti. Agus Tri Haryanto, “BNN : Indonesia Darurat Narkoba”, http://nasional.news.viva.co.id. diunggah pada Rabu, 29 April 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Undang – Undang No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, dalam LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 143, (Jakarta: SEKRETARIAT NEGARA RI)




[1] Laili Maulida, skripsi “Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak di Bawah Umur”, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009), Hal. 5.
[2] Tri Fajar Nugroho, skripsi “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap Pelaku Pengedar Narkotika”, (Lampung: Universitas Lampung, 2016), hal. 23.
[3] Redaksi Elshinta.com, Mengapa Indonesia Darurat Narkoba?, http://elshinta.com/news, diunggah pada Selasa 17 Maret 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[4] Suryanta Bakti Susila, Agus Tri Haryanto, BNN : Indonesia Darurat Narkoba, http://nasional.news.viva.co.id, diunggah pada Rabu, 29 April 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[5] Gusti Ayu Cindy Permata Sari, dkk. Makalah “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pidana Mati Terkait Kasus Narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar (Penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar)”, (Bali: Universitas Udayana, 2016), hal.2.
[6] Rizki Supermana, Presiden Jokowi : Indonesia Darurat Narkoba, http://rri.co.id, diunggah pada 4 Februari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[7] Hardiat Dani Satria, Jokowi : Indonesia Darurat Narkoba, http://news.metrotvnews.com, diunggah pada 5 Februari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[8] Luqman Rimadi, Jokowi : Grasi 64 Terpidana Mati Narkoba Ditolak, Setuju?, http://news.liputan6.com, diunggah pada 20 Januari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[9] Pada UU Narkotika dan UU Psikotropika secara eksplisit tidak dijelaskan pengertian “pengedar Narkotika/ Psikotropika”. Secara implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa, “pengedar Narkotika/Psikotropika” adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan Narkotika/Psikotropika. Akan tetapi, secara luas pengertian “pengedar” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi  penjual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan perbuatan mengekspor dan mengimpor “Narkotika/Psikotropika”.
[10] Undang – Undang No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, dalam LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 143, (Jakarta: SEKRETARIAT NEGARA RI)..
[11] Menurut Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Pasal 1 ayat (1):  “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan”
Undang-Undang Narkotika No 35 tahun 2009 Pasal 1. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan narkotika adalah[11] : “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini” .
[12] Di Indonesia sejak adanya Undang-undang Narkotika, penggunaan resmi narkotika adalah untuk kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah, penggunaan narkotika tersebut di atas diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Narkotika yang bunyinya: “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan”.
[13] Ikin A. Ghani dan Abu Charuf, Bahaya Penyalahgunaan Narkotika dan Penanggulangannya, (Yayasan Bina Taruna, Jakarta, 1985), hal. 5.
[14] H. Mardani, Penyalahgunaan  Narkotika  Dalam  Perspektif  Hukum  Islam  Dan  Hukum  Pidana Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 79.
[15] Lihat penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009.
[16] Moh. Taufik Makarao, SH, MH; Drs. Suharsil, SH; H. Moh Zakky AS, SH, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta : Ghalia Indonesia, September 2003), hal 41.
[17] Undang – Undang No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, dalam LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 143, (Jakarta: SEKRETARIAT NEGARA RI).
[18] Lilik Mulyadi, Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba: Penelitian Asas, Teori, Norma dan Praktek Peradilan. Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 1, No. 2. Juli 2012, hal. 314.
[19] Sanuwar, skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana Mati Bagi Pengedar Narkotika (Studi Pasal 114 ayat (2) dan 119 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, (Semarang:  IAIN Walisongo, 2013), hal. 75.
[20] Pasal  114  ayat  (2):  dijelaskan  bahwa  dalam  hal  perbuatan  menawarkan untuk  dijual,  menjual,  membeli,  menjadi  perantara  dalam  jual  beli,  menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  yang  dalam  bentuk  tanaman  beratnya  melebihi  1  (satu)  kilogram  atau melebihi  5  (lima)  batang  pohon  atau  dalam  bentuk  bukan  tanaman  beratnya  5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun  dan  pidana  denda  maksimum  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119 ayat (2): dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,  menerima,  menjadi  perantara  dalam  jual  beli,  menukar,  atau menyerahkan  Narkotika  Golongan  II  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) beratnya  melebihi  5  (lima)  gram,  pelaku  dipidana  dengan  pidana  mati,  pidana penjara  seumur  hidup,  atau  pidana  penjara  paling  singkat  5  (lima)  tahun  dan paling  lama  20  (dua  puluh)  tahun  dan  pidana  denda  maksimum  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Dalam pasal 114 ayat 2, menjelaskan bahwa  sanksi tindak pidana narkotika adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Sedangkan dalam pasal 119 ayat 2 sanksinya adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Yakni bahwa sanksi  pidana  tersebut  sangat dinamis  yaitu  adanya  sanksi  minimum  khusus  (paling  singkat  6  (enam)  tahun pada pasal 114 ayat 2 dan paling singkat 5 (lima) tahun pada pasal 119 ayat 2) dan juga  maksimum  khusus  (pidana  mati).  Dalam  pasal  tersebut  juga  terdapat  kata “atau” dan kata “dan” yakni bahwa pasal tersebut dapat dijatuhkan  secara kumulatif atau alternatif  yang diimplikasikan dengan kata “dan” maupun kata “atau”.
[21] Irwan Midian Manurung, jurnal skripsi “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”. (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2013), hal. 8-9.
[22] Abdul Rokhim, Hukuman Mati Perspektif Relativisme Hak Asasi Manusia. Jurnal Transisi Malang. No.10 tahun 2015 , Hal. 13.
[23] Satrio Putra Kolopita, Penegakan Hukum Atas Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Lex Crimen. Vol. II. No.4. Agustus 2013. Hal. 67.
[24] Khermarinah, “Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukuman Mati Bagi Terpidana Bali Nine dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika”. Jurnal Manhaj. Vol. 6 No. 1, April 2016, Hal. 20-21.
[25] Abdulqadir Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i  al-Islami, Juz II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), hal. 514
[26] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris) Departemen Agama RI, (Semarang: Asy-Syifa, 1998), hal. 90.
[27] Sanuwar, skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana Mati Bagi Pengedar Narkotika (Studi Pasal 114 ayat (2) dan 119 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, (Semarang:  IAIN Walisongo, 2013), hal. 78.
[28] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemah: Imam Ghozali Said – Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), hal. 665.
[29] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2006), hal. 164.
[30] A. Ghozali Ihsan, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Semarang, Basscom, 2015), hal. 84.
[31] Majelis Ulama Indonesia, Fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2014 tentang Hukuman Bagi Produsen, Bandar,  Pengedar, Penyalah Guna Narkoba, http://mui.or.id, diakses pada hari Sabtu, 8 Oktober 2016.
Labels: Fiqh Jinayah, Hukum Pidana Islam, Masail Fiqhiyyah

Thanks for reading Tinjauan Hukum Islam tentang Pidana Mati Bagi Penyalahguna Narkotika (UU NOMOR 35 TAHUN 2009). Please share...!

0 Comment for "Tinjauan Hukum Islam tentang Pidana Mati Bagi Penyalahguna Narkotika (UU NOMOR 35 TAHUN 2009)"

Back To Top