PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhir-akhir
ini, peredaran dan pengonsumsian obat-obat terlarang, sabu-sabu dan segala
macam jenisnya, menunjukkan gejala yang makin tak terkendali. Selain karena
kemasan dan teknis pengedarannya yang luar biasa rapi, juga sangat dirasakan
bahwa mekanisme kontrol pribadi anak-anak muda kita makin tidak jelas lagi.
[1] Secara aktual, penyalahgunaan Narkotika sampai saat ini mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapatkan Narkotika, misalnya dari bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah, diskotek, dan berbagai tempat lainnya. Bisnis Narkotika telah tumbuhan dan menjadi bisnis yang banyak diminati karena keuntungan ekonomis.[2]
[1] Secara aktual, penyalahgunaan Narkotika sampai saat ini mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapatkan Narkotika, misalnya dari bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah, diskotek, dan berbagai tempat lainnya. Bisnis Narkotika telah tumbuhan dan menjadi bisnis yang banyak diminati karena keuntungan ekonomis.[2]
Salah
satu tindak pidana yang belakangan ramai diperbincangkan di tanah air adalah
tindak pidana narkoba. Data dari BNN menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun
jumlah pengguna narkoba meningkat seiring dengan meningkatnya pengungkapan
tindak pidana ini oleh polisi. Di sepanjang 2009 hingga 2013 :
No
|
Kasus
|
Tahun
|
||||
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
||
1.
|
Narkotika
|
11.140
|
17.898
|
19.128
|
19.081
|
21.269
|
2.
|
Psikotropika
|
8.779
|
1.181
|
1.601
|
1.729
|
1.612
|
3.
|
Bahan adiktif lain
|
10.964
|
7.599
|
9.067
|
7.917
|
12.705
|
Sumber
: Polri dan BNN, Maret 2014
Data terakhir dari hasil penelitian
Puslitkes UI dan BNN yang kemudian dipublikasikan kepada media disebutkan bahwa
tahun 2014, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai angka 4,1 juta
orang. Sementara angka penyalahgunaan narkotika di tahun 2015 meningkat, yakni
mencapai 4,33 juta orang.[3]
Kepala
BNN, Komjen Pol Anang Iskandar
menegaskan kerugian yang dialami negara dari narkoba mencapai Rp. 63 Triliun.
Bahkan mengenai pengguna narkoba, ia menjelaskan ada 50 orang meninggal per
hari akibat barang haram ini[4].
Selain itu, menurutnya, “Kini telah ditemukan zat psikoaktif baru di mana ada
sekitar 14 zat ditemukan di Indonesia. Semakin meningkatnya jumlah kasus
peredaran obat terlarang secara illegal di Indonesia yang dari tahun ke tahun.” [5]
Kondisi Indonesia yang darurat Narkoba,
disampaikan Presiden Joko Widodo pada Februari silam. Presiden menjelaskan ada
18 ribu orang yang tewas per tahun akibat narkoba. Dalam upaya pemberantasan
dan penanggulangan kasus narkoba, negara memiliki tanggung jawab yang besar
yakni menyelamatkan warganya dengan cara merehabilitasi. Jumlah yang menjadi
tanggungan negara tak tanggung-tanggung yakni 4,2 - 4,5 juta penyalahgunaan narkoba. Selain
itu, masih sebanyak 1,2 juta penyalahgunaan narkoba tidak bisa direhabilitasi[6]. Berlatar
tingginya beban negara dan terus meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran
narkoba di Indonesia membuat Presiden menolak dengan tegas grasi yang diajukan
oleh para terpidana mati kasus Narkoba[7].
Pernyataan penolakan ini disampaikan Presiden kepada wartawan ketika meresmikan
Masjid Raya Mujahidin di Pontianak, Kalimantan Barat pada Januari 2015 silam.
Presiden menyatakan tidak akan memberikan grasi kepada 64 terpidana mati kasus
narkoba yang meminta grasi padanya[8].
Terkait
dengan hukuman mati, hukuman ini merupakan hukuman maksimal yang diberikan
kepada pengedar dan produsen beragam jenis narkotika. Dalam upaya memerangi
narkoba dibentuklah aturan hukum untuk menjerat para pelaku tindak pidana ini,
yakni Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.[9]
Pada UU Narkotika, sanksi pidana mati, salah satunya diatur dalam Pasal 114
ayat 2.[10]
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka
dapat ditarik beberapa poin rumusan masalah, sebagai berikut:
1.
Apakah yang
dimaksud dengan narkotika dan tindak pidana narkotika?
2.
Apakah yang
dimaksud hukuman mati bagi tindak pidana narkotika (UU No. 35 tahun 2009)
menurut hukum positif dan hukum Islam?
NARKOTIKA DAN
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A.
Narkotika
Narkotika[11]
adalah zat yang sangat sebenarnya dibutuhkan dalam pengembangan dunia medis.[12]
Ikin A. Ghani menjelaskan bahwa istilah narkotika berasal dari dari bahasa
Yunani yakni narkon yang artinya beku
dan kaku. Dalam ilmu kedokteran
juga dikenal istilah Narcose
atau Narcicis yang berarti
membiuskan.[13]
Sedangkan H. Mardani Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bahan tanaman baik yang sintesis
maupun semi sintesisnya yang dapat menyebabkan penurunan atau penambahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi atau sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan.[14]
Untuk
penggolongannya, UU Narkotika membagi 3 jenis narkotika, yaitu[15] :
1. Golongan
I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan.
2. Golongan
II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
3. Golongan
III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan.
B.
Tindak
Pidana Narkotika
Dapat
diartikan dengan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum Narkotika.[16]
Dalam undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang narkotika dalam pasal 1 ayat 15
dijelaskan bahwa “Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa
hak atau melawan hukum”. Yang termasuk kejahatan narkotika tidak hanya pengedar
dan produksi narkotika, akan tetapi semua pihak yang terlibat dan berperan
dalam kegiatan tersebut termasuk dalam kejahatan narkotika. Hal ini termaktub
dalam pasal 1 ayat (18) UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika bahwa
Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau
bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan,
menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota
suatu organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasi suatu tindak pidana
narkotika.[17]
Pelaku penyalahgunaan narkoba
terbagi atas dua kategori yaitu pelaku sebagai “pengedar” dan/atau “pemakai”.[18]
Berikut ini jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika :
1. Tindak
pidana yang menyangkut penyalahgunaan Narkotika Tindak pidana penyalahgunaan
Narkotika dibedakan menjadi dua macam yaitu perbuatannya untuk orang lain dan
untuk diri sendiri.
2. Tindak pidana yang menyangkut produksi dan
jual beli Narkotika Tindak pidana yang menyangkut produksi dan jual beli di sini
bukan hanya dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor impor
dan tukar menukar Narkotika.
3. Tindak
pidana yang menyangkut pengangkutan Narkotika Tindak pidana dalam arti luas
termasuk perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, dan mentrasito Narkotika. Selain
itu, ada juga tindak pidana di bidang pengangkutan Narkotika yang khusus
ditujukan kepada nahkoda atau kapten penerbang karena tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik sebagaimana diatur dalam Pasal 139 UU Narkotika.
4. Tindak
pidana yang menyangkut penguasaan Narkotika
5. Tindak
pidana yang menyangkut tidak melaporkan pecandu Narkotika Orang tua atau wali
memiliki kewajiban untuk melaporkan pecandu Narkotika. Karena jika kewajiban
tersebut tidak dilakukan dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua atau wali
dan pecandu yang bersangkutan.
6. Tindak
pidana yang menyangkut label dan publikasi Seperti yang diketahui bahwa pabrik
obat diwajibkan mencantumkan label pada kemasan Narkotika baik dalam bentuk
obat maupun bahan baku Narkotika (Pasal 45). Kemudian untuk dapat
dipublikasikan Pasal 46 UU Narkotika syaratnya harus dilakukan pada media cetak
ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Apabila tidak dilaksanakan
dapat merupakan tindak pidana.
7. Tindak
pidana yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan Narkotika Barang yang ada
hubungannya dengan tindak pidana dilakukan penyitaan untuk dijadikan barang
bukti perkara bersangkutan dan barang bukti tersebut harus diajukan dalam
persidangan. Status barang bukti ditentukan dalam Putusan pengadilan.
8. Tindak
pidana yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur Tindak pidana di bidang
Narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya
kejahatan ini dilakukan pula bersama-sama dengan anak di bawah umur (belum
genap 18 tahun usianya). Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak di bawah
umur untuk melakukan kegiatan Narkotika merupakan tindak pidana.
HUKUM PIDANA
MATI
BAGI
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
A.
Hukuman Pidana Mati Bagi Penyalahgunaan Narkotika (UU.
No. 35 tahun 2009) Menurut Hukum Positif
Di Indonesia tindak pidana yang tergolong sebagai
tindak pidana luar biasa (extraordinary
crime) seperti tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi, maupun illegal logging pantas dijatuhi pidana mati. Bukan hanya karena modus
operandi tindak pidana tersebut yang sangat terorganisir, namun ekses negatif
yang meluas dan sistematik bagi khalayak, menjadi titik tekan yang paling
dirasakan masyarakat.[19]
Maka sebagai langkah
yuridis yang menentukan eksistensi keberlakuan pidana hukuman mati di
Indonesia, maka keluarlah putusan MK Nomor 2-3/PUUV/2007. Dalam Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memuat
pidana mati. Bahwa ancaman pidana mati bagi pengedar diatur dalam Pasal 114 ayat (2) dan Pasal 119
ayat (2)[20].
Ada beberapa dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan
Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Narkotika berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, yaitu Bapak Danardono,
S.H. yang merupakan salah
satu Hakim di Pengadilan Negeri Sleman, menyebutkan bahwa pada dasarnya
pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
narkotika adalah sama. Selain itu, Hakim
mempertimbangkan bahwa peredaran
gelap narkotika mempunyai
dampak yang cukup luas dan merusak generasi muda pewaris
bangsa. Dampak dari penyalahgunaan narkotika adalah berujung dengan kematian
yang disebabkan oleh over dosis,
perkelahian ataupun kecelakaan lalu lintas. Dengan pidana mati maka akan menghentikan
jaringan narkotika dan
dampak dengan di pidana
matinya pengedar narkotika
akan menyelamatkan anak
bangsa. Lebih baik menghilangkan satu nyawa bila dapat menyelamatkan
ratusan jiwa. Hakim
mempertimbangkan bahwa pidana
mati yang dijatuhkan
terhadap pelaku peredaran gelap narkotika dapat menjadi pelajaran bagi
orang lain supaya berpikir dua kali untuk melakukan dan membantu peredaran
gelap narkotika.[21]
Hukuman mati di bawah
hukum internasional biasanya di toleransi ketika suatu kejahatan dapat dianggap
sebagai "kejahatan yang paling serius". Komite Hak Asasi Manusia PBB telah menetapkan bahwa "kejahatan
yang paling serius" dibatasi untuk tindakan yang secara langsung
menyebabkan kematian. Laporan lain oleh ICCPR telah menyatakan bahwa hukuman
mati harus digunakan secara terbatas hanya dalam kasus-kasus di mana kejahatan
yang sangat mematikan (incredibly lethal),
memiliki konsekuensi yang sangat serius, dan tindakan kekerasan.[22]
Pada penerapan hukuman mati terhadap pengedar
Narkoba secara yuridis telah memenuhi prosedur sebagaimana yang dinyatakan
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yaitu Undang-undang No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika. Terlebih
lagi adanya tuntutan keadaan yang sudah sepantasnya hukuman mati itu
diterapkan, maka walaupun menyalahi
Undang-undang Hak Asasi Manusia, namun bukan dianggap sebagai pelanggaran
hukum. Apalagi jika dilihat dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
oleh pengedar narkoba mempunyai dampak yang cukup luas, banyak pecandu narkoba yang disembuhkan tetapi
kambuh lagi.[23]
B.
Hukuman Pidana Mati Bagi Penyalahgunaan Narkotika (UU.
No. 35 tahun 2009) Menurut Hukum Islam
Kebanyakan fuqaha
mazhab Hanafiyyah memperbolehkan hukuman mati terhadap khamr
termasuk narkotika karena sifatnya merusak sebagai dan menyebutnya pembunuhan dikarenakan motif politik. Beberapa ulama’ mazhab Hanabilah terutama Ibn Taimiyah
dan Ibn Qayyim serta beberapa muridnya
juga mendukung pendapat tadi. Pendapat tersebut juga didukung
oleh beberapa ulama’ Malikiyah
(Hanafi, 2009: 198).[24]
Yusuf Al
Qardawi memberikan fatwa bahwa
pemerintahan (negara) harus memerangi
narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Dengan dalil bahwa hakikatnya
pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan. Mereka
layak mendapatkan hukuman qisash
(Al Qardhawi, 2009: 216).
Kemudian lebih
lanjut Al-Qardhawi menyatakan memang di dalam Al-Quran dan Hadis
menyebutkan pengharaman khamr, tetapi
tidak menyebutkan keharaman
bermacam-macam benda padat
yang memabukkan, seperti ganja
dan heroin. Maka bagaimanakah hukum syara'
terhadap penggunaan benda-benda
tersebut, sementara sebagian kaum muslim
tetap mempergunakannya. dengan alasan
bahwa agama tidak mengharamkannya, ganja,
heroin, serta bentuk lainnya baik padat maupun cair yang
terkenal dengan sebutan mukhaddirat
(narkotik) adalah termasuk benda-benda yang
diharamkan syara' tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama (Al-Qardhawi,
2012 : 118).
Dalam hukum Islam,
bahwa kategori kejahatan luar biasa adalah
jarimah hirabah. Kejahatan jarimah hirabah sendiri adalah
perampokan. Jarimah pencurian
terbagi dua, yaitu pencurian kecil (al-sariqah al-shugra), yaitu mengambil harta yang
bukan haknya secara sembunyi-sembunyi, dan pencurian besar (al sariqah al-kubra), yaitu mencuri
harta yang bukan haknya dengan cara merampas atau terang-terangan, yang biasa
disebut perampokan (al-hirabah).[25] Hirabah diterapkan kepada pengedar
narkotika karena telah melawan hukum yang
berlaku, memerangi Allah, menentang ajaran Rasulullah, dan dapat merusak tatanan negara, sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Ma’idah ayat 33 yaitu:
إِنَّمَا جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ
تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ
ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ
عَظِيمٌ ٣٣
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) satu penghinaan untuk
mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”[26]
Penulis[27]
mengambil kesimpulan tersebut karena sifat dari narkotika, yaitu membunuh satu orang
manusia sama saja dengan membunuh seluruh umat yang dianalogikan dengan
kejahatan narkotika yang membunuh bukan saja per orang, tetapi membunuh
ribuan bahkan ratusan
ribu manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam surat
al-Maidah ayat 32
yang masih keterkaitan
dengan surat al-Maidah ayat 33 dan kejahatan tindak pidana
pengedar narkotika termasuk juga kejahatan luar
bisa yang terorganisir
secara rapi.
Sementara dalam Bidayatul
Mujathid, mengenai hukuman yang dijatuhkan atas orang yang melakukan hirabah, fuqoha sepakat bahwa hukuman
tersebut berkaitan dengan hak Allah dan hak manusia. Disepakati pula bahwa hak
Allah tersebut adalah hukuman mati, hukuman salib, dipotong tangan dan kakinya
secara silang, dan hukuman pengasingan, seperti telah ditegaskan oleh Allah
dalam ayat yang berkenaan dengan hirabah itu.[28]
Oleh karena dalil tentang pidana terhadap kejahatan
narkotika ini sesuai dengan kaidah ushul
fiqh yang berbunyi:
درأ
المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya:
“menolak kemafsadatan didahulukan
daripada mengambil kemaslahatan.”[29]
Atau kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
الضرر لا يزال بالضرر
Artinya: “Bahwa
segala bentuk bahaya harus dihilangkan dan disingkirkan”.[30]
Kaidah ini menegaskan bahwa tujuan hukum Islam,
ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat. Kemaslahatan membawa
manfaat bagi kehidupan
manusia, sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan bagi
kehidupan manusia.
Menurut Majelis
Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2014 tentang Hukuman
Bagi Produsen, Bandar, Pengedar, Penyalah
Guna Narkoba[31] dengan ketentuan hukum
sebagai berikut:
1.
Memproduksi,
mengedarkan, dan menyalahgunakan narkoba tanpa hak hukumnya haram, dan
merupakan tindak pidana yang harus dikenai hukuman had dan/atau ta’zir.
2.
Produsen,
bandar, pengedar, dan penyalah guna narkoba harus diberikan hukuman yang sangat
berat karena dampak buruk narkoba jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan khamr (minuman keras).
3.
Negara boleh
menjatuhkan hukuman ta’zir sampai
dengan hukuman mati kepada produsen, bandar, pengedar, dan penyalah guna
narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau tindakan tersebut
berulang, demi menegakkan kemaslahatan umum.
4.
Pemerintah tidak
boleh memberikan pengampunan dan/atau keringanan hukuman kepada pihak yang
telah terbukti menjadi produsen, bandar, pengedar, dan penyalah guna narkoba.
5.
Penegak hukum
yang terlibat dalam produksi dan peredaran narkoba harus diberikan pemberatan
hukuman.
PENUTUP
A.
Simpulan
Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bahan tanaman baik yang sintesis
maupun semi sintesisnya yang dapat menyebabkan penurunan atau penambahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi atau sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan. Dalam undang-undang No 35
Tahun 2009 tentang narkotika dalam pasal 1 ayat 15 dijelaskan bahwa “Penyalah
guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum”.
Yang termasuk kejahatan narkotika tidak hanya pengedar dan produksi narkotika,
akan tetapi semua pihak yang terlibat dan berperan dalam kegiatan tersebut
termasuk dalam kejahatan narkotika.
Pada penerapan hukuman mati terhadap pengedar
Narkoba secara yuridis telah memenuhi prosedur sebagaimana yang dinyatakan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yaitu Undang-undang No. 35 tahun
2009 tentang Narkotika. Terlebih lagi
adanya tuntutan keadaan yang sudah sepantasnya hukuman mati itu diterapkan, maka walaupun menyalahi Undang-undang Hak
Asasi Manusia, namun bukan dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Bagi “pengguna narkotika”, kebanyakan fuqaha mazhab Hanafiyyah memperbolehkan
hukuman mati terhadap khamr termasuk narkotika karena sifatnya
merusak sebagai dan menyebutnya
pembunuhan dikarenakan motif politik.
Beberapa ulama’ mazhab Hanabilah
terutama Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim serta beberapa muridnya juga
mendukung pendapat tadi. Pendapat
tersebut juga didukung oleh beberapa ulama’ Malikiyah (Hanafi,
2009: 198). Berkenaan dengan penjatuhan hukuman terhadap pengedar
narkotika, Yusuf Al Qardawi memberikan fatwa bahwa
pemerintahan (negara) harus memerangi
narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Dengan dalil bahwa
hakikatnya pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk
kekayaan. Mereka layak mendapatkan
hukuman qisash Berkenaan dengan penjatuhan hukuman terhadap
pengedar narkotika, Yusuf Al Qardawi memberikan fatwa bahwa
pemerintahan (negara) harus memerangi
narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Dengan dalil bahwa
hakikatnya pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan.
Mereka layak mendapatkan hukuman qisash
DAFTAR PUSTAKA
Audah, Abdulqadir, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami. Juz II. Beirut: Dar al-Fikr.
Departemen
Agama RI. 1998. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris) Departemen Agama RI. Semarang: Asy-Syifa.
Djazuli,
A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Prakti..
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Ghani, Ikin A. dan Abu
Charuf. 1985. Bahaya Penyalahgunaan
Narkotika dan Penanggulangannya. Yayasan Bina Taruna, Jakarta.
H. Mardani. 2008. Penyalahgunaan Narkotika
Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Hukum
Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ihsan,
A. Ghozal. 2015. Kaidah-kaidah Hukum
Islam. Semarang: Basscom.
Ibnu
Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid,
Terjemah: Imam Ghozali Said – Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Imani.
Khermarinah. 2016 “Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukuman Mati
Bagi Terpidana Bali Nine dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika”.
Jurnal Manhaj. Vol. 6 No 1.
Kolopita, Satrio Putra.
2013. “Penegakan Hukum Atas Pidana Mati
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”. Lex Crimen. Vol. II. No.4.
Majelis
Ulama Indonesia. 2014. Fatwa MUI Nomor 53
Tahun 2014 tentang Hukuman Bagi Produsen, Bandar, Pengedar, Penyalah Guna Narkoba,
http://mui.or.id, diakses pada hari Sabtu 8 Oktober 2016.
Makarao, Moh. Taufik.
Suharsil. Moh Zakky AS. 2003. Tindak
Pidana Narkotika. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Manurung, Irwan Midian.
2013. “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam
Menjatuhkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”. jurnal
skripsi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Maulida, Laili. 2009. “Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif
Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak di Bawah Umur”. skripsi.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Mulyadi, Lilik. 2012. “Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna
Narkoba: Penelitian Asas, Teori, Norma dan Praktek Peradilan”. Jurnal Hukum
dan Peradilan. Vol. 1. No. 2.
Nugroho, Tri Fajar.
2016. “Penjatuhan Pidana Mati Terhadap
Pelaku Pengedar Narkotika”. Skripsi. Lampung: Universitas Lampung.
Redaksi Elshinta.com, “Mengapa Indonesia Darurat Narkoba?”, http://elshinta.com/news, diunggah pada
Selasa 17 Maret 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Rimadi, Luqman. “Jokowi: Grasi 64 Terpidana Mati Narkoba
Ditolak, Setuju?”, http://news.liputan6.com,
diunggah pada 20 Januari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Rokhim, Abdul. 2015. “Hukuman Mati Perspektif Relativisme Hak
Asasi Manusia”. Jurnal Transisi Malang. No.10.
Sanuwar. 2013. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana Mati
Bagi Pengedar Narkotika (Studi Pasal 114 ayat (2) dan 119 ayat (2)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”. Skripsi.
Semarang: IAIN Walisongo.
Sari, Gusti Ayu Cindy
Permata. dkk. 2016. Makalah “Analisis
Yuridis Terhadap Putusan Pidana Mati Terkait Kasus Narkotika di Pengadilan
Negeri Denpasar (Penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar)”. Bali:
Universitas Udayana.
Satria, Hardiat Dani. Jokowi : “Indonesia Darurat Narkoba”, http://news.metrotvnews.com,
diunggah pada 5 Februari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Supermana, Rizki. “Presiden Jokowi : Indonesia Darurat Narkoba”,
http://rri.co.id, diunggah pada
4 Februari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Susila, Suryanta Bakti.
Agus Tri Haryanto, “BNN : Indonesia
Darurat Narkoba”, http://nasional.news.viva.co.id.
diunggah pada Rabu, 29 April 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
Undang – Undang No 35
tahun 2009 Tentang Narkotika, dalam LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2009 NOMOR 143, (Jakarta: SEKRETARIAT NEGARA RI)
[1] Laili Maulida,
skripsi “Kajian Hukum Islam dan Hukum
Positif Terhadap Kasus Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak di Bawah Umur”,
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009), Hal. 5.
[2] Tri Fajar
Nugroho, skripsi “Penjatuhan Pidana Mati
Terhadap Pelaku Pengedar Narkotika”, (Lampung: Universitas Lampung, 2016),
hal. 23.
[3] Redaksi
Elshinta.com, Mengapa Indonesia Darurat
Narkoba?, http://elshinta.com/news, diunggah pada
Selasa 17 Maret 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[4] Suryanta Bakti
Susila, Agus Tri Haryanto, BNN :
Indonesia Darurat Narkoba, http://nasional.news.viva.co.id, diunggah pada
Rabu, 29 April 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[5] Gusti Ayu Cindy
Permata Sari, dkk. Makalah “Analisis
Yuridis Terhadap Putusan Pidana Mati Terkait Kasus Narkotika di Pengadilan
Negeri Denpasar (Penelitian di Pengadilan Negeri Denpasar)”, (Bali:
Universitas Udayana, 2016), hal.2.
[6] Rizki Supermana,
Presiden Jokowi : Indonesia Darurat
Narkoba, http://rri.co.id, diunggah pada 4 Februari 2015, diakses
pada Minggu 10 Oktober 2016.
[7] Hardiat Dani
Satria, Jokowi : Indonesia Darurat
Narkoba, http://news.metrotvnews.com, diunggah pada 5
Februari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[8] Luqman Rimadi, Jokowi : Grasi 64 Terpidana Mati Narkoba
Ditolak, Setuju?, http://news.liputan6.com, diunggah pada
20 Januari 2015, diakses pada Minggu 10 Oktober 2016.
[9] Pada UU Narkotika dan UU
Psikotropika secara eksplisit tidak dijelaskan pengertian “pengedar Narkotika/
Psikotropika”. Secara implisit dan sempit dapat dikatakan bahwa, “pengedar
Narkotika/Psikotropika” adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan
penyerahan Narkotika/Psikotropika. Akan tetapi, secara luas pengertian
“pengedar” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi penjual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut,
menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan perbuatan mengekspor dan mengimpor
“Narkotika/Psikotropika”.
[10] Undang – Undang
No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, dalam LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2009 NOMOR 143, (Jakarta: SEKRETARIAT NEGARA RI)..
[11] Menurut
Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang
Narkotika Pasal 1 ayat (1): “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang
ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan”
Undang-Undang
Narkotika No 35 tahun 2009 Pasal 1. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
dengan narkotika adalah[11]
: “zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini” .
[12] Di Indonesia
sejak adanya Undang-undang Narkotika, penggunaan resmi narkotika adalah untuk
kepentingan pengobatan dan penelitian ilmiah, penggunaan narkotika tersebut di atas
diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Narkotika yang bunyinya: “Narkotika hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan”.
[13] Ikin A. Ghani
dan Abu Charuf, Bahaya Penyalahgunaan
Narkotika dan Penanggulangannya, (Yayasan Bina Taruna, Jakarta, 1985), hal.
5.
[14] H. Mardani, Penyalahgunaan Narkotika
Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Hukum
Pidana Nasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 79.
[15] Lihat penjelasan
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009.
[16] Moh. Taufik
Makarao, SH, MH; Drs. Suharsil, SH; H. Moh Zakky AS, SH, Tindak
Pidana Narkotika, (Jakarta
: Ghalia Indonesia, September 2003), hal 41.
[17] Undang – Undang
No 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, dalam LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2009 NOMOR 143, (Jakarta: SEKRETARIAT NEGARA RI).
[18] Lilik Mulyadi, Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna
Narkoba: Penelitian Asas, Teori, Norma dan Praktek Peradilan. Jurnal Hukum
dan Peradilan. Vol. 1, No. 2. Juli 2012, hal. 314.
[19] Sanuwar, skripsi
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana
Mati Bagi Pengedar Narkotika (Studi Pasal 114 ayat (2) dan 119 ayat (2)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, (Semarang: IAIN Walisongo, 2013), hal. 75.
[20] Pasal 114
ayat (2): dijelaskan
bahwa dalam hal
perbuatan menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual
beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi
1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima)
batang pohon atau
dalam bentuk bukan
tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119 ayat
(2): dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam
jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan
II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya
melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara
paling singkat 5
(lima) tahun dan paling
lama 20 (dua
puluh) tahun dan
pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Dalam pasal 114
ayat 2, menjelaskan bahwa sanksi tindak
pidana narkotika adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga). Sedangkan dalam pasal 119 ayat 2 sanksinya adalah pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Yakni bahwa sanksi pidana
tersebut sangat dinamis yaitu
adanya sanksi minimum
khusus (paling singkat
6 (enam) tahun pada pasal 114 ayat 2 dan paling
singkat 5 (lima) tahun pada pasal 119 ayat 2) dan juga maksimum
khusus (pidana mati).
Dalam pasal tersebut
juga terdapat kata “atau” dan kata “dan” yakni bahwa pasal
tersebut dapat dijatuhkan secara
kumulatif atau alternatif yang
diimplikasikan dengan kata “dan” maupun kata “atau”.
[21] Irwan Midian
Manurung, jurnal skripsi “Dasar
Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Narkotika”. (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2013), hal. 8-9.
[22] Abdul Rokhim, Hukuman Mati Perspektif Relativisme Hak
Asasi Manusia. Jurnal Transisi Malang. No.10 tahun 2015 , Hal. 13.
[23] Satrio Putra
Kolopita, Penegakan Hukum Atas Pidana
Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Lex Crimen. Vol. II. No.4.
Agustus 2013. Hal. 67.
[24] Khermarinah, “Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukuman Mati
Bagi Terpidana Bali Nine dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika”. Jurnal
Manhaj. Vol. 6 No. 1, April 2016, Hal. 20-21.
[25] Abdulqadir
Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, Juz II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), hal. 514
[26] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok
Bergaris) Departemen Agama RI, (Semarang: Asy-Syifa, 1998), hal. 90.
[27] Sanuwar, skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana Mati
Bagi Pengedar Narkotika (Studi Pasal 114 ayat (2) dan 119 ayat (2)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”, (Semarang: IAIN Walisongo, 2013), hal. 78.
[28] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemah: Imam
Ghozali Said – Achmad Zaidun, (Jakarta:
Pustaka Imani, 2007), hal. 665.
[29] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum
Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2006), hal. 164.
[31] Majelis Ulama
Indonesia, Fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2014
tentang Hukuman Bagi Produsen, Bandar,
Pengedar, Penyalah Guna Narkoba, http://mui.or.id, diakses pada hari
Sabtu, 8 Oktober 2016.
Labels:
Fiqh Jinayah,
Hukum Pidana Islam,
Masail Fiqhiyyah
Thanks for reading Tinjauan Hukum Islam tentang Pidana Mati Bagi Penyalahguna Narkotika (UU NOMOR 35 TAHUN 2009). Please share...!
0 Comment for "Tinjauan Hukum Islam tentang Pidana Mati Bagi Penyalahguna Narkotika (UU NOMOR 35 TAHUN 2009)"